January 1, 2025

Cerita dari Desa #11: Membuka lahan tanpa membakar

Theodorus Manek
Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur


Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.


Kegiatan pembukaan lahan tanpa bakar. (Theodorus Manek)

Praktik pertanian yang dilakukan oleh masyarakat petani di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) sebagian besar masih cenderung menggunakan api dalam tahap persiapan lahan, baik secara terkendali maupun tidak terkendali. Dari mayoritas masyarakat yang menggunakan teknik tebas bakar, terdapat segelintir petani yang mulai meninggalkannya dan beralih ke teknik pembukaan lahan tanpa tebas bakar (PLTB).

Salah satunya adalah Bapak Semuel Tefnai (57 tahun). Beliau tinggal di Desa Bijaepunu, Kecamatan Mollo Utara. Sehari-hari Pak Samuel bekerja sebagai petani, sekaligus kepala keluarga dengan lima orang anak. Ditemui langsung di kebunnya, beliau bercerita bahwa pembukaan lahan tanpa bakar yang ia lakukan dimulai sejak 2021 hingga saat ini.

Ketika membuka lahan, Pak Semuel pertama-tama melakukan teknik manual seperti membabad rintisan dengan cara dipotong. Kemudian, sisa-sisa anakan dibabad dengan parang dan kapak. Setelah itu, Pak Semuel membuat jalur tanam untuk memudahkan pada saat melaksanakan kegiatan penanaman. Cara ini digunakan karena area yang dimiliki beliau memiliki topografi datar dan juga bergelombang, sehingga teknik yang digunakan cukup memungkinkan. Ranting-ranting kayu dan dedaunan yang mati kemudian ditumpuk untuk dilapukkan di dalam lahan sehingga nutrisinya kembali ke dalam tanah. Potongan-potongan kayu yang dihasilkan juga dimanfaatkan menjadi teras-teras bangku. Selain itu, Pak Semuel juga menanam serai dan nanas untuk dijadikan teras alami. Upaya-upaya ini dilakukan oleh Pak Semuel untuk mengurangi resiko kerusakan dalam mendukung praktik budi daya di lahan miring.

Alasan mengapa Pak Semuel melakukan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar karena dengan menggunakan sistem ini maka kondisi tanahnya selalu terjaga lalu tanaman yang tersisa tidak terpengaruh dan juga hasil yang didapatkan cukup memuaskan sehingga beliau mempertahankan teknik ini. Sebelum bergabung dengan kelompok belajar di Desa Bijaepunu melalui program Land4Lives, Pak Semuel memperoleh pengetahuan tentang Pembukaan Lahan Tanpa Bakar ini di salah satu lembaga yayasan yang pernah berkegiatan di desa tetangganya, Desa Sikam, pada tahun 2020 melalui program pengabdian masyarakat.

Diakui oleh Pak Semuel, praktik PLTB ini lebih mahal daripada menggunakan cara tebas bakar sehingga penghasilan yang didapatkan dari hasil budidayanya lebih sedikit dari biasanya. Tapi Pak Semuel percaya bahwa cara ini baik untuk tanah, karena kesehatan tanah akan lebih terjaga dalam jangka yang panjang. Cara tebas bakar pun prosesnya lebih cepat sehingga tidak semua petani mau menggunakan PLTB dan cenderung memilih tebas bakar setiap membuka lahan.

Di sisi lain, praktik tebas bakar masih banyak dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya dilakukan oleh Pak Welem Takeltanu (43 tahun). Ia adalah salah petani di Desa Bijaepunu yang masih menggunakan praktik tebas bakar ketika membuka lahan. Mengapa Bapak Welem melakukan tebas bakar, karena cara tersebut lebih memudahkannya. Metode ini tidak sangat membutuhkan banyaknya biaya yang besar dan beliau memiliki keyakinan bahwa melalui metode ini, kesuburan tanah akan meningkat. Manfaat yang ia dapatkan itu ditinjau dari hasil pemanenannya yang ia dapatkan dari lahan yang ia kelolah dengan menggunakan sistem tebas bakar di anggap sangat menguntungkan sehingga sampai pada tahan ini beliau masih mempertahankan sistem tebas bakar.

Selain karena murah, praktik ini adalah tradisi yang ditinggalkan oleh para nenek moyang orang Mollo sehingga cara ini tetap dipertahankan secara turun temurun. Sebagian besar masyarakat Mollo saat ini masih melakukan pertanian ladang berpindah sehingga cara tebas bakar dirasa masih menjadi metode paling praktis dalam persiapan lahan. Ketika selesai satu siklus tanam, ladang akan ditinggalkan untuk rentang waktu tertentu untuk kembali diolah kembali dengan metode tebas bakar.

ICRAF Indonesia melalui program Land4Lives memperkenalkan praktik-praktik pertanian cerdas iklim (climate-smart agriculture) di 12 desa di NTT, termasuk Desa Bijaepunu. Karakteristik tanah di Pulau Timor yang kering dan minim unsur hara diperparah dengan masifnya penggunaan praktik tebas bakar. Ketika lahan dibakar, sisa-sisa abu yang dihasilkan memberikan unsur-unsur nutrisi anorganik yang dapat diserap dengan cepat oleh tanaman sehingga biasanya hasil panen di siklus pertama akan sangat baik. Tetapi, hasil panen kemudian akan anjlok di siklus kedua, sehingga petani kerapkali berpindah ke lahan yang baru. Praktik ini dapat dikategorikan tidak cerdas iklim karena mengurangi kualitas kesehatan tanah dan menyumbang emisi yang cukup besar dari hasil pembakarannya.

Dalam perjalanannya, mengubah perilaku masyarakat dalam pembukaan lahan dengan tebas bakar menjadi tanpa bakar masih menjadi tantangan yang cukup sulit dipecahkan. Selain karena alasan sosiokultural, tebas bakar juga memerlukan biaya yang lebih rendah dan waktu yang lebih singkat.

PLTB merupakan salah satu metode cerdas iklim yang dapat dilakukan oleh petani untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mempertahankan kesehatan tanah dalam kegiatan budi daya. Metode ini merupakan salah satu upaya dalam mengubah kebiasaan masyarakat di Timor yang cenderung melakukan praktik ladang berpindah menuju praktik lahan menetap. Berbagai pendekatan cerdas iklim lain yang diterapkan dalam mendukung upaya ini diantaranya adalah konservasi tanah dan air, penggunaan pupuk organik, serta rotasi tanaman di dalam lahan yang menetap.


Baca artikel lainnya dalam seri Cerita dari Desa