May 7, 2025 | Administrator

Konsultasi Publik Perencanaan Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang Berketahanan Iklim, Pangan, dan Responsif Gender di Provinsi  Nusa Tenggara Timur

Dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah dirasakan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kekeringan, bencana alam, serta penurunan produktivitas komoditas pertanian unggulan telah memengaruhi pendapatan masyarakat dan mengancam ketahanan pangan. Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi pembangunan di NTT, terutama dalam menjawab isu-isu strategis yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025–2045, antara lain kemiskinan, stunting, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia.

Sektor pertanian selama ini memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah. Namun, dalam satu dekade terakhir, pengembangan pertanian di NTT turut menyebabkan peningkatan alih fungsi lahan yang berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan. Di sisi lain, sektor pertanian belum memberikan nilai tambah yang optimal terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), karena industri pengolahan berbasis komoditas unggulan belum berkembang dengan baik. Sebagai provinsi yang ekonominya sangat bergantung pada sumber daya alam, NTT membutuhkan pendekatan pembangunan yang mampu menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan, sehingga manfaat pembangunan dapat dirasakan secara merata dan berkelanjutan hingga ke generasi mendatang.

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur telah menunjukkan komitmen untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau, dengan mengembangkan sektor-sektor berbasis sumber daya terbarukan seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan, beserta rantai nilai turunannya, tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Komitmen ini tercermin dalam visi RPJPD 2025–2045, yakni: "Nusa Tenggara Timur Mandiri, Maju, dan Berkelanjutan" sebagai bagian dari kontribusi menuju Indonesia Emas 2045.

Dalam semangat kolaborasi multipihak, Pemerintah Provinsi NTT telah menginisiasi penyusunan Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau atau Green Growth Plan (GGP). Dokumen ini merupakan sintesis dari berbagai rekomendasi terkait pengelolaan lahan yang seimbang dan berkelanjutan, serta perbaikan tata kelola sektor ekonomi berbasis lahan.

GGP diharapkan mampu menjembatani antara strategi pembangunan daerah dan penataan ruang wilayah, serta menyinergikan tujuan pembangunan ekonomi dengan pelestarian sumber daya alam. Proses perencanaannya dilakukan secara iteratif melalui kajian terhadap berbagai skenario pembangunan yang mempertimbangkan kebutuhan lahan untuk berbagai fungsi, pandangan pemangku kepentingan, tatanan sosial, kebijakan alokasi dan kesesuaian lahan, serta manfaat ekonomi (baik pada skala regional, usaha, maupun petani), tanpa mengabaikan aspek lingkungan. Dari proses ini dihasilkan rencana tata guna lahan secara spasial, opsi praktik silvikultur yang ramah lingkungan untuk komoditas unggulan, peningkatan nilai tambah produk, serta perbaikan akses pasar — demi mendukung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dengan dampak lingkungan yang minimal.

Saat ini, proses penyusunan telah menghasilkan berbagai rumusan mulai dari visi hingga intervensi strategis yang diperlukan untuk mewujudkan ekonomi hijau di masa depan. Rumusan-rumusan tersebut dituangkan dalam dokumen draf yang akan dikonsultasikan secara publik guna mendapatkan tanggapan dan masukan dari para pemangku kepentingan. Semua masukan tersebut akan memperkaya dan menyempurnakan Rencana Induk dan Peta Jalan, yang nantinya dapat diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan formal Provinsi NTT, seperti RPJPD, RPJMD, RKPD, serta rencana turunan lainnya.

Lokakarya konsultasi publik ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman bersama tentang pentingnya pertumbuhan ekonomi hijau (Green Growth Plan) sebagai bagian dari proses perencanaan pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, menyampaikan hasil penyusunan Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang telah dirumuskan melalui berbagai proses partisipatif bersama pemangku kepentingan, serta menggali masukan dan saran dari para pemangku kepentingan terhadap rumusan, strategi, dan intervensi dalam dokumen pertumbuhan ekonomi hijau Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dokumentasi Kegiatan

Rilis Pers

Bapperida NTT, bekerja sama dengan ICRAF Indonesia, mengadakan konsultasi publik Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau atau Green Growth Plan (GGP) di Kupang, Rabu (07/05). Rencana induk ini menjabarkan berbagai skenario dan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari sumber daya terbarukan berbasis lahan di NTT tanpa mengorbankan lingkungan hidup, sehingga menjaga ketahanan wilayah terhadap dampak-dampak perubahan iklim.

Ada tiga skenario yang ditawarkan Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau untuk NTT. Pertama, melindungi ekosistem penting dan menyesuaikan tata guna lahan dengan tata ruang. Kedua, melaksanakan tawaran pertama serta meningkatkan produktivitas sektor kopi, jagung, kelapa, kemiri, jambu mete, kakao dan padi melalui penerapan cara bertani baik (GAP). Ketiga, memadukan tawaran pertama dan kedua dengan hilirisasi kopi, kelapa, kemiri, panili, jambu mete, dan perikanan.

Plt. Kepala Bapperida NTT Alfonsus Theodorus, ketika membuka konsultasi publik, menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi di NTT bisa berjalan sambil menjaga ekosistem.

“Misalnya, kita mau tingkatkan produktivitas kopi, bukan berarti kita babat itu hutan kemudian kita tanam kopi semua, tapi kopi yang sudah ada kita optimalkan. Kita usahakan supaya kopi ini keluar dari NTT sudah dalam bentuk produk,” ujarnya.

“Sehingga kita hilirisasi, ekosistem kita terjaga, pertumbuhan kita dorong, rakyat kita makmur,” dia menambahkan.

Merencanakan pembangunan hijau jadi urusan mendesak bagi NTT, yang telah merasakan dampak perubahan iklim. Fenomena global itu memperburuk kekeringan dan krisis air yang menjadi masalah tahunan, serta meningkatkan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem.

Dampak perubahan iklim meluas ke sektor pertanian, dengan penurunan produksi komoditas unggulan seperti padi, jagung, dan kopi. Kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah mereka yang bergantung pada sumber daya alam, termasuk perempuan, yang mengalami tekanan ganda akibat faktor sosial dan budaya dalam menghadapi perubahan pola cuaca.

Kerugian akibat perubahan iklim dapat diperparah oleh praktik pengelolaan lahan dan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Lingkungan memiliki kapasitas terbatas untuk menopang aktivitas manusia, dan jika batas ini dilampaui, risiko bencana akan meningkat, membawa dampak jangka panjang yang membebani generasi mendatang.

Arga Pandiwijaya, peneliti geospasial dari ICRAF Indonesia yang menjadi bagian dari kelompok kerja (pokja) ekonomi hijau, menjelaskan bahwa dokumen GGP merekomendasikan enam strategi. Pertama, tata guna lahan secara berkelanjutan. Kedua, penguatan kelembagaan dan peningkatan akses terhadap lima modal penghidupan yang sensitif terhadap GEDSI.

Ketiga, optimalisasi produktivitas, diversifikasi, peningkatan daya saing dan nilai tambah sektor unggulan daerah yang berketahanan iklim. Keempat, penguatan rantai nilai dan konektivitas ekonomi wilayah yang berkeadilan.

Kelima, restorasi daerah aliran sungai, lahan, hutan, pesisir dan sumber daya air. Dan keenam, pendanaan inovatif multipihak melalui  mekanisme investasi dan insentif jasa lingkungan.

“Pengembangan enam strategi ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan visi perencanaan jangka panjang NTT,” kata Arga.

RPJPD NTT 2025-2045 menargetkan NTT menjadi provinsi mandiri, maju, dan berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelestarian lingkungan, penguatan ketahanan pangan, serta kesetaraan akses bagi seluruh masyarakat.

Penyusunan rencana induk dan peta jalan pertumbuhan ekonomi hijau dimotori oleh pokja pertumbuhan ekonomi hijau NTT, sebuah forum multi-pihak yang melibatkan pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil sebagai pemangku kepentingan. GGP diinisiasi oleh pemprov NTT, melalui Bapperida, bersama ICRAF Indonesia dalam kegiatan riset-aksi Land4Lives atau Lahan untuk Kehidupan, yang disokong oleh pemerintah Kanada.

Kegiatan konsultasi publik yang diadakan di hotel Swissbel, Kupang pada 7 Mei bermaksud mengumpulkan masukan dari publik secara luas, serta mengumpulkan ide untuk tindak lanjut dokumen ini.

Skenario Ekonomi Hijau

Strategi dan intervensi yang ditawarkan dalam GGP diproyeksikan menghasilkan skenario yang lebih baik daripada business as usual (BAU), yaitu bila pembangunan berjalan seperti biasa. Dalam skenario GGP, perekonomian tetap tumbuh sementara laju deforestasi dan emisi berkurang.

GGP diharapkan mampu menurunkan emisi gas rumah kaca dari alih guna lahan dibandingkan skenario BAU. Pada skenario GGP diproyesikan adanya penurunan emisi bersih hingga 70% dibandingkan BAU di tahun 2050. GGP juga mampu menurunkan intensitas emisi -- semakin rendah intensitas emisi, semakin berkurang juga kerugian lingkungan yang timbul akibat pertumbuhan ekonomi. Intensitas emisi skenario BAU pada tahun 2050 menunjukkan angka 348.471 ton CO2eq/triliun rupiah. Sedangkan pada skenario GGP intensitas emisi menunjukkan nilai yang jauh lebih rendah sebesar 107.534 ton CO2eq/triliun rupiah.

Sambil menjaga lingkungan hidup, strategi-strategi dalam GGP dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Skenario GGP berpeluang untuk membuka lapangan pekerjaan baru dan menambah jumlah serapan tenaga kerja. Skenario GGP diproyeksikan akan meningkatkan serapan tenaga kerja dibandingkan skenario BAU. Hal ini disebabkan oleh dominasi sektor-sektor padat karya dari hilirisasi seperti industri pengolahan dari hilirisasi kopi, kelapa, kemiri, vanili, jambu mete, sapi dan perikanan

PDRB NTT pada scenario BAU mengalami peningkatan sebesar 1,59% per tahun, sedangkan dalam skenario  GGP dengan asumsi peningkatan produktivitas dan perbaikan rantai nilai, PDRB dapat tumbuh sebesar rata-rata 6.76% per tahun. Peningkatan produktivitas komoditas unggulan menjadi kunci pertumbuhan yang lebih tinggi dari sektor ekonomi terbarukan berbasis lahan.

Arga Pandiwijaya dari ICRAF Indonesia mengatakan, GGP NTT dapat menjadi panduan strategis untuk pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Sebagai dokumen perencanaan, GGP telah mencakup visi jangka panjang, sasaran yang ingin dicapai, skenario yang telah dirumuskan, serta strategi dan intervensi yang disusun berdasarkan analisis awal (ex-ante) terhadap indikator-indikator kinerja masa depan.

Ia menegaskan, keberhasilan implementasi rencana ini sangat bergantung pada keterlibatan aktif berbagai pihak, termasuk masyarakat, sektor swasta, lembaga keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya.

“Kolaborasi lintas sektor ini penting untuk mendorong pengembangan investasi hijau di daerah dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan pelestarian lingkungan. Ekonomi hijau, masa depan kemilau,” pungkas Arga.

--

Untuk informasi lebih lanjut hubungi:

Pijar Anugerah
Staf komunikasi ICRAF Indonesia
p.anugerah@cifor-icraf.org