“Hutan tidak seharusnya menjadi sumber konflik karena mereka memberi nilai ekonomis dan bisa memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Jika masyarakat mendapat nilai ekonomis dari hutan, mereka akan ikut menjaga kelestariannya. Riset akan membantu mereka menjaga hutan dan mengelola dengan bijak,” Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat berkata di depan jurnalis pada 15 Agustus 2022 di ibukota provinsi, Kupang.
Pernyataan Gubernur tersebut diutarakan pada saat mengunjungi pameran mini produk-produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dibawa Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) dari penjuru provinsi. Laiskodat memborong berbagai produk, termasuk minyak kayu putih, minyak kemiri, dan kopi dari berbagai meja pameran. “Saya ke sini untuk membeli (produk-produk). Ini salah satu cara untuk membantu mereka yang ikut menjaga hutan. Belilah produk mereka, pastikan mereka menikmati keuntungan memiliki hutan yang lestari dan terjaga baik,” imbuhnya.
Yang disampaikan Laiskodat cukup untuk menunjukkan sikap pemerintah setempat terhadap perhutanan sosial. Dukungan seratus persen, namun kenyataan berkata lain karena dukungan tersebut tidak serta merta diterjemahkan sebagai dukungan sumber daya, termasuk penganggaran.
Namun minimnya anggaran bukan tanpa sebab. Sebagai respons terhadap pandemi COVID-19, pemerintah pusat menginstruksikan ke semua kementerian dan pemerintah daerah untuk melakukan pengalihan fokus dan pengalokasian anggaran ke kegiatan untuk mempercepat penangganan pandemi. Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak mendapat pengecualian.
Pameran mini produk HHBK tersebut adalah kegiatan pendukung Rapat Koordinasi Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PS) Provinsi Nusa Tenggara yang diselenggarakan bersama-sama oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT dengan World Agroforestry (ICRAF) Indonesia melalui proyek Land4Lives. Rakor menghadirkan perwakilan dari total 22 KPH yang ada.
Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.9 Tahun 2021, Perhutanan Sosial diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat Setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan. Pemerintah Pusat telah mengalokasikan 12,7 hektar untuk Perhutanan Sosial pada periode 2015-2019 dan dilanjutkan di periode yang kedua.
Secara nasional, capaian Perhutanan Sosial sampai dengan Januari 2022 sebanyak 7.479 unit SK, seluas 4.901.000 hektar lebih, melibatkan sebanyak 1.049.000 Kepala Keluarga (KK).
Pada bulan Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyerahkan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) kepada 30 provinsi, mengingatkan bahwa lahan yang telah memperoleh Persetujuan Perhutanan Sosial segera ditanami dengan 50% pohon berkayu dan 50 % sisanya boleh ditanami tanaman semusim seperti jagung, kedelai, padi hutan, buah-buahan atau kopi dengan pola agroforestry, atau dikembangkan bersama usaha ternak (sylvopasture), atau bila lahan terletak di hutan mangrove bisa dikembangkan bersama usaha perikanan (sylvofishery).
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur Ondy Christian Siagian menyebut bahwa NTT memiliki areal indikatif Perhutanan Sosial dengan luas 496.614,58 hektare, namun capaiannya masih seluas 57.864,13 hektare atau 11.6%.
“Dari capaiannya, NTT masih termasuk kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Berbagai kendala terkait dengan capaian tersebut adalah ketiadaan penganggaran APBD bagi fasilitasi perijinan Perhutanan Sosial, kurangnya sumber daya manusia di lapangan untuk membimbing dan menfasilitasi kelompok, minimnya pengetahuan SDM yang ada di tingkat KPH untuk membimbing dan menfasilitasi kelompok, kurangnya sosialisasi kepada masyarakat di sekitar hutan terkait Perhutanan Sosial serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam program Perhutanan Sosial,”jelas Ondy.
Kepala Bidang Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan dan Perhutanan Sosial DLHK Provinsi NTT Anindya Widaryati menambahkan program perhutanan sosial memiliki peran strategis dalam pemberdayaan masyarakat dan dalam pelaksanaanya melibatkan lintas sektor dan multi stakeholder. Di NTT, Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial pada 1 Maret 2022.
“Pokja PPS terdiri dari berbagai unsur, lintas sektor termasuk di dalamnya unsur pemerintahan, peggiat kehutanan, dan universitas. Tugas utamanya adalah untuk koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, verifikasi, pendampingan dan bimbingan teknis hingga penguatan kapasitas kelembagaan dan memiliki juga fungsi pengembangan usaha,” kata Anindya.
Kegiatan rapat koordinasi yang diselenggarakan dengan dukungan ICRAF menjadi momentum penting untuk menyamakan persepsi dalam Pokja menggali data dan informasi kondisi perhutanan sosial di 22 kabupaten/kota.
“Melalui kegiatan ini kami juga akan merencanakan langkah-langkah percepatan dan strategi untuk intensifikasi penyediaan akses atau pemberian ijin dan, terutama, pendampingan pasca pemberian ijin,” kata Anindya.
ICRAF, melalui proyek riset aksi Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods in Indonesia (Land4Lives) melihat koordinasi di dalam Pokja PPS sangat penting sebagai landasan kuat untuk menyusun rencana dan langkah-langkah yang tepat tujuan dan tepat sasaran.
Tema yang diangkat dalam rapat koordinasi “Peranan Perhutanan Sosial Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat yang Berketahanan Iklim,” selaras dengan semangat yang diusung Land4Lives, proyek riset aksi kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kanada yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola lanskap, memperkuat ketahanan pangan, dan meningkatkan penghidupan tahan iklim serta mendorong partisipasi perempuan dalam aksi-aksi mitigasi/adaptasi perubahan iklim.
“Salah satu upaya adaptasi dampak perubahan iklim adalah memastikan tersedianya akses ke lahan ke masyakarat. Memiliki lahan yang dikelola dengan baik dan bertanggungjawab tidak hanya memberi manfaat ekonomis tetapi juga melibatkan masyarakat dalam upaya melestarikan keberlanjutan hutan,” jelas Koordinator Provinsi Land4Lives Yeni Fredrik Nomeni.
Yeni mengatakan dari kegiatan ini diharapkan akan terkumpul rencana kerja yang sesuai dengan kondisi geografis dan potensi kawasan perhutanan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Koordinasi yang melibatkan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) ini diharapkan akan memetakan pemangku kepentingan dan potensi serta tantangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan, pemanfaatan kawasan hutan dengan pola agroforestri/silvopasture dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian,” tambahnya.