Bone, 13-14 Juni 2025
Kegiatan ini untuk memperkuat program Bina Keluarga Balita (BKB) oleh DP2KB Bone dan program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) oleh DP3A Bone. Untuk itu lokakarya selama dua hari ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman para pihak dalam pengembangan program dan mengumpulkan masukan untuk menyusun panduan peran ayah dalam ketahanan pangan gizi keluarga. Ada 62 peserta yang terdiri dari 26 laki-laki dan 36 perempuan sebagai perwakilan dari kader Puspaga, PLKB, dan fasilitator desa, yang mengikuti lokakarya ini.
Lokakarya dibuka dengan sambutan oleh Ibu Hasnawati Ramli, S.Sos, M.Si (Plt Kadis P3A Bone) dan Bapak A. Aswat, S.Sos, M.Si (Plt Kadis P2KB Bone). Keduanya menyoroti peran penting program yang diharapkan dapat berkontribusi dalam mengatasi gizi buruk dan memperkuat kapasitas kader atau petugas lapangan untuk mengkampanyekan hal ini di lapangan.
Para narasumber dalam lokakarya ini menyampaikan beragam aspek yang mendukung pelibatan ayah dalam ketahanan keluarga termasuk ketahanan pangan dan gizi. Ibu Dra.Ratnawati, M.Si (LPP) menyampaikan bahwa ayah diharapkan berperan dalam pengasuhan anak di dalam keluarga. Adanya pembagian peran yang baik antara ayah dan ibu akan berdampak positif dalam kesejahteraan keluarga. Hal senada disampaikan oleh Dra.Suhartini (P2KB) bahwa kesetaraan peran orang tua akan membentuk fondasi kesejahteraan keluarga; terlihat pada anak yang tumbuh mandiri dan matang secara emosional, anak yang berprestasi, keluarga yang harmonis, dan terjadi peningkatan karir pada orang tua.
Ibu Dr. Asia A.Pananrangi, SH MH (Ketua Puspaga) menyampaikan bahwa dalam budaya Bugis ada prinsip yang mendukung peran ayah dalam ketahanan keluarga seperti prinsip siri’ (menjaga kehormatan keluarga), lempu’ (kejujuran), dan reso (usaha). Masyarakat Bugis Makassar memiliki nilai Pangadereng yakni ade’ (adat), bicara (bahasa), rapang (teladan), wari’ (etika), dan syarak (agama) yang saling berkaitan erat. Bapak Dr. Ade Fariq Ashar (Ketua bidang hukum MUI) menyampaikan bahwa ayah perlu meluangkan waktu bagi keluarga, mengikuti sesi parenting, dan berkomunikasi terbuka dengan pasangan (istri).
Peran pengasuhan merupakan tugas bersama ayah dan ibu, seperti disampaikan pada sesi pemahaman konsep gender. Ratnasari (Spesialis Gender ICRAF) dan Laeli Sukmahayani (Konsultan Gender CIFOR) menyampaikan bahwa peran pengasuhan yang dikonstruksikan menjadi peran perempuan berdampak pada multi beban yang dialami perempuan, yang melakukan peran produktif, reproduktif, dan sosial kemasyarakatan secara bersamaan. Maka pembagian peran ayah-ibu yang setara pada tugas domestik dan pengasuhan, termasuk pemenuhan pangan gizi bagi keluarga, membuat keluarga lebih harmonis dan sejahtera.
Mulia Nurhasan (CIFOR) melontarkan usulan penamaan program menjadi “Papa Gizi” (penguatan peran ayah dalam pangan gizi) untuk menjembatani kolaborasi dua program dari P2KB dan DP3A, namun tentu saja sangat terbuka jika ada masukan lain. Berkaitan dengan penyusunan panduan, peserta memberikan masukan antara lain memasukkan informasi tentang fenomena fatherless (tidak hadirnya peran ayah dalam pengasuhan), memasukkan data kasus perkawinan anak yang sangat berkaitan dengan kasus stunting, memasukkan tradisi-mitos-ujaran dalam adat Bugis berkenaan dengan pengasuhan dan pangan gizi keluarga.
