Sosialisasi dan Lokakarya Indikator Yurisdiksi Berkelanjutan (IYB), Provinsi Sumatera Selatan

Palembang, 21-22 Oktober 2025

Kementerian PPN/Bappenas bersama ICRAF Indonesia menyelenggarakan acara Sosialisasi dan Uji Coba Indikator Yurisdiksi Berkelanjutan (IYB) di Provinsi Sumatera Selatan pada 21 Oktober 2025, diikuti dengan Lokakarya Tindak Lanjut pada 22 Oktober 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan tata kelola pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan yurisdiksi, dengan fokus pada pengelolaan komoditas perkebunan seperti karet, kelapa, kopi, dan kelapa sawit. IYB, yang diluncurkan pada Forum Investasi B20 2022, mengukur keberlanjutan daerah melalui tiga dimensi: lingkungan, sosial-ekonomi, dan tata kelola, mendukung target nasional rendah karbon dan bebas deforestasi.

Acara pada 21 Oktober akan memperkenalkan IYB kepada pemangku kepentingan di Sumatera Selatan, termasuk pemerintah daerah, asosiasi komoditas, akademisi, dan sektor swasta. Sesi meliputi penyampaian materi tentang tata kelola komoditas berkelanjutan, perkembangan komoditas unggulan, dan uji coba platform IYB, diakhiri dengan diskusi dan masukan peserta. Kegiatan ini diadakan di Aula Pertemuan Bappeda, dihadiri secara luring dan daring melalui Zoom, dengan peserta dari berbagai instansi seperti BPS, Dinas Perkebunan, dan universitas setempat, serta asosiasi seperti GAPKINDO dan APKASINDO.

Lokakarya tindak lanjut pada 22 Oktober berfokus pada diskusi teknis untuk mengintegrasikan IYB ke dalam pengelolaan komoditas unggulan. Peserta akan mengidentifikasi indikator prioritas, membahas pengelolaan data, dan menyusun rencana aksi kolaboratif lintas sektor. Hasil yang diharapkan meliputi rekomendasi teknis, catatan kesepakatan, dan draft rencana tindak lanjut untuk mendukung keberlanjutan di Sumatera Selatan. Kegiatan ini akan berlangsung di Ruang Rapat Bappeda, melibatkan pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi, untuk memperkuat komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.


Rilis Pers

Dorong perkebunan berkelanjutan, Bappenas dan ICRAF sosialisasikan IYB di Sumsel

Palembang, 22 Oktober 2025 —  Bappenas dan ICRAF Indonesia memperkenalkan Indikator Yurisdiksi Berkelanjutan (IYB) untuk membantu komoditas perkebunan di Sumatera Selatan bersaing di pasar global. IYB adalah alat ukur pembangunan berkelanjutan yang menilai sejauh mana aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dikelola secara terpadu.

Bila suatu daerah memenuhi IYB, komoditas yang dihasilkan dari daerah tersebut berpotensi mendapatkan harga yang lebih baik di pasar yang menuntut produk berkelanjutan.

IYB juga dapat membuka peluang bagi daerah untuk mengakses berbagai skema insentif, pendanaan, dan investasi hijau. Selain itu, bagi pelaku usaha, IYB meningkatkan kepercayaan terhadap komitmen daerah dalam menjalankan praktik berkelanjutan.

Bappenas menekankan pentingnya implementasi perkebunan berkelanjutan dalam mendukung agenda hilirisasi, peningkatan kesejahteraan petani/pekebun, serta pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029.

“Pencapaian tujuan tersebut memerlukan keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, baik dari kementerian, akademisi, sektor swasta, mitra pembangunan, hingga akademisi. IYB akan menjadi platform bersama untuk memantau komitmen seluruh pihak dalam penerapan praktik-praktik keberlanjutan tersebut,” kata Wulan Metafurry dari Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas.

Sistem pengukuran kinerja keberlanjutan ini dikembangkan saat pasar internasional semakin menuntut supaya komoditas bebas dari permasalahan lingkungan dan etis, misalnya deforestasi.

Contohnya, Uni Eropa baru-baru ini mengeluarkan EUDR yang yang mengatur supaya produk atau komoditas tertentu yang diperdagangkan ke atau dari pasar Uni Eropa tidak berasal dari lahan yang baru saja ditebang atau mengalami degradasi hutan.

Sosialisasi IYB yang digelar di Aula Bappeda Sumsel, 22 Oktober, menjadi langkah awal untuk menguji penerapan sistem IYB di tingkat Kabupaten. Kegiatan ini mengundang perwakilan pemerintah kabupaten OKI, Banyuasin, dan Muara Enim serta beberapa asosiasi pengusaha karet, kelapa, kopi, dan kelapa sawit di Sumatera Selatan.

Penerapan IYB diharapkan dapat menjadi tolak ukur baru keberlanjutan daerah di Indonesia, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam mewujudkan ekonomi hijau yang tangguh dan berdaya saing di tingkat global.

Manfaat IYB

Peneliti kebijakan dan tata kelola bentang lahan dari ICRAF Indonesia, Tania Benita, menjelaskan bahwa keunggulan utama pendekatan yurisdiksi berkelanjutan seperti IYB ialah menempatkan pemerintah daerah sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan, lahan, dan sumber daya alam sesuai kewenangannya, sekaligus memastikan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.

Pendekatan ini membawa manfaat bagi berbagai pihak yang terlibat dalam rantai pasok perkebunan.

Bagi petani kecil, IYB memungkinkan mereka terhubung langsung dengan pasar tanpa harus menjalani sertifikasi individu yang rumit dan mahal. Kondisi di tingkat yurisdiksi juga membantu menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi petani untuk memperoleh sertifikasi secara kolektif atau individu. Dengan dukungan tata kelola yang baik dan pengakuan pasar terhadap praktik berkelanjutan, petani berpeluang mendapatkan harga jual yang lebih tinggi untuk komoditasnya di pasar yang peduli pada aspek lingkungan dan sosial.

Bagi pemerintah daerah, IYB menyediakan alat bantu untuk menyusun kebijakan berbasis bukti dan mengevaluasi kinerja secara transparan. Sistem ini juga membuka peluang bagi daerah untuk mengakses berbagai skema insentif, pendanaan, dan investasi hijau yang kini menjadi perhatian global.

Sementara bagi pasar dan pelaku usaha, IYB dapat menambah kepastian investasi pada sektor perkebunan di suatu daerah yang telah menjalankan praktik berkelanjutan.

“Harapannya, IYB bisa lebih banyak diadopsi di daerah dan mengakomodasi berbagai jenis komoditas sehingga dapat memberikan gambaran keunggulan komparatif dalam tata kelola perkebunan berkelanjutan,” kata Tania.

IYB meliputi 18 indikator utama dan 9 indikator lanjutan yang dikelompokkan ke dalam tiga dimensi keberlanjutan:

  1. Lingkungan, yang mencakup perlindungan hutan dan lahan gambut, pengendalian kebakaran, kualitas lingkungan hidup, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
  2. Sosial-ekonomi, yang menilai aspek ketahanan pangan, pemberdayaan pekebun swadaya, kemitraan multipihak, kesetaraan gender, serta pengakuan hak masyarakat adat.
  3. Tata kelola, yang menekankan pentingnya akses informasi publik, mekanisme pengaduan, partisipasi multipihak, dan integrasi prinsip keberlanjutan dalam perencanaan pembangunan daerah.

Sistem penilaian IYB menggunakan pendekatan komposit (Grade A – D) dan berbintang (1–3) untuk menggambarkan tingkat capaian daerah. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, tandanya semakin kuat komitmen dan kinerja daerah dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Pengembangan IYB

Pengembangan IYB berangkat dari kebutuhan akan sistem yang mampu mengukur kemajuan pembangunan berkelanjutan di daerah secara objektif dan berbasis data nasional.

Proses pengembangan IYB dimulai sejak 2021 melalui serangkaian diskusi multipihak dan penyelarasan dengan kebijakan nasional. Pada 2025, indikator ini telah diperbarui agar sejalan dengan RPJMN dan RPJPN yang menempatkan tata kelola yurisdiksi berkelanjutan sebagai bagian dari strategi peningkatan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan nasional.

Inisiatif pengembangan IYB adalah bagian dari riset-aksi Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods (Land4Lives) yang didukung oleh pemerintah Kanada. Riset-aksi ini berfokus pada penguatan tata kelola bentang alam, ketahanan pangan, kesetaraan gender, dan ketangguhan iklim di tiga provinsi: Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Melalui kegiatan ini, Bappenas, Pemprov Sumsel, dan ICRAF menegaskan komitmen bersama untuk membangun sistem tata kelola yang adil, transparan, dan inklusif.[]

Download Materi