Melibatkan masyarakat dalam sebuah kegiatan untuk menggerakkan ekonomi yang lebih bersahabat dengan kondisi lingkungan mereka adalah sebuah keniscayaan. Tanpa peran dan kesediaan masyarakat desa untuk menjadi bagian dari kegiatan, rencana yang telah disusun secara strategis dan sistematis sekalipun mustahil akan berjalan seperti yang diharapkan.
Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau Padiatapa (Free Prior Informed Consent) adalah salah satu mekanisme untuk memastikan hak-hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas sumberdaya desa nya terpenuhi. Selain itu dengan dipenuhinya Padiatapa, sebuah kegiatan bisa mendorong rasa kepemilikan masyarakat atas inisiatif yang ditawarkan.
Mekanisme ini memang relatif baru. Diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2011, padiatapa merupakan bentuk penghormatan terhadap hak-hak masyarakat/masyarakat adat yang jamak menjadi obyek pembangunan model atas ke bawah (top down). Mekanisme ini menempatkan masyarakat sebagai subyek penting yang menjadi kunci dari dimulainya atau dihentikannya sebuah rencana kegiatan.
Sesuai dengan namanya, padiatapa dimulai dengan kegiatan penyampaian informasi atau rencana kegiatan yang akan dilakukan di desa. Masyarakat kemudian akan mendiskusikan di antara mereka, memberi tanggapan atas informasi yang disampaikan. Mereka boleh menyatakan ketidaksetujuan atau memberi masukan sesuai dengan harapan mereka.
Jika kesepakatan tercapai di antara masyarakat desa, mereka akan menandatangani dokumen persetujuan.
Untuk keperluan di atas, di awal bulan Agustus, Proyek Sustainable Landscape for Resilient- Livelihoods (Land4Lives) in Indonesia melaksanakan FPIC di 36 desa di 3 provinsi, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Didampingi oleh tim Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten, tim Land4Lives mendatangi desa, menggelar pertemuan, memaparkan rencana kegiatan Land4Lives di desa, lalu mempersilakan kepala desa dan masyarakat desa berembuk kemudian menanggapi rencana tersebut.
‘Di Bone kami menyebut kegiatan semacam itu sebagai tudang sipulung, artinya duduk bersama dan bermusyawarah,” kata Kepala Desa Turu Adae Asira Rasyid.
Asira, yang sudah menjadi kades sejak 2016, mengatakan desanya memiliki banyak potensi baik dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan.
“Tentu kami ingin kegiatan Land4Lives bisa mendukung pengembangan potensi-potensi tersebut, khususnya peningkatan kapasitas petani lalu juga akses pasar untuk komoditas yang kami hasilkan,” tambahnya, mewakili beberapa warga yang sudah menyampaikan harapan mereka setelah mendengar pemaparan tentang rencana kegiatan di desa.
Di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sosialiasi dan proses penyampaian persetujuan juga dilaksanakan dari awal Agustus hingga pertengahan bulan. Dalam pelaksanaannya perwakilan Bappeda, Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), serta pemangku kepentingan terkait turut hadir dan menyampaikan harapan mereka.
Bertempat di Kecamatan Muara Sugihan, perwakilan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Adhios Safri mengatakan padiatapa adalah momentum untuk “berjalan bersama, berubah bersama ke arah yang lebih baik.”
“Rentang waktu Land4Lives yang akan berlangsung sampai 2026 adalah proses yang panjang oleh karena itu dari awal masyarakat harus tahu informasinya, tentang prosesnya, dampak dan manfaatnya,” kata Adhios.
Sementara itu Rais dari Desa Muara Medak, Musi Banyuasin, berharap kegiatan ini (Land4Lives) tidak hanya besar gaung di awal saja, namun tidak memberi dampak dan manfaat bagi masyarakat desa.
Land4Lives bekerja sesuai dengan konteks lokal di desa, sehingga urun sarani masyarakat desa serta pemerintah setempat diperlukan untuk memastikan kegiatan sesuai dengan kebutuhan desa, masyarakat, dan lingkungannya.
Padiatapa menjadi salah satu mekanisme untuk memastikan masyarakat dan Land4Lives memiliki pemahaman yang sama akan cara atau kegiatan yang akan dilakukan untuk membuat perubahan yang lebih baik.