Bernadino Bere dan Defrib Sanherib Sora
Mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur
Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Iklim kering di Nusa Tenggara Timur menjadikan ketersediaan air isu yang sangat penting, terutama bagi sektor pertanian. Persoalan air bahkan dialami oleh desa-desa yang dekat dengan mata air alami, seperti Desa Oepliki di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang terletak di kaki gunung Bunium.
Gunung Bunium adalah gunung tertinggi kedua di TTS, dan memiliki banyak sumber air alami. Namun, seiring berjalannya waktu, berkurangnya tutupan hutan di gunung akibat aktivitas manusia mengakibatkan penurunan kualitas mata air di sekitar desa. Selain itu, dampak perubahan iklim berupa periode hujan yang semakin pendek meningkatkan ancaman kekeringan.
“Desa kami (relatif) tidak pernah mengalami kekeringan yang sangat ekstrem, hanya kekurangan debit air saja di bulan Agustus sampai awal Desember akhir-akhir ini. Kami pernah melakukan dua kali reboisasi, pada 1992 dan 2021 untuk menjaga mata air ini”, kata Osias Seu, salah satu tokoh masyarakat di Desa Oepliki.
Saat ini kejadian kekeringan mulai muncul, salah satunya dikarenakan kejadian longsor yang merusak mata air. Banyak warga, termasuk Osias, mulai terpikir untuk membuat sumur dan tempat penampungan air untuk jaga-jaga ketika masuk waktu kekeringan.
Berusia 55 tahun, Osias Seu adalah salah satu ketua kelompok di desa-desa dampingan proyek Land4Lives di Nusa Tenggara Timur. Dia berusaha mengurangi dampak kekurangan air ketika musim kering dengan membuat penampungan air untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian sekitarnya. Dia berkata bahwa dia sering merasa resah karena ketika musim hujan datang, curah hujannya lebih besar tetapi airnya tidak tertampung sehingga terbuang. Padahal, ketika musim kering kebutuhan air untuk lahan pertanian milik anggota cukup tinggi.
Osias bekerja dengan mengoordinasikan 25 anggota kelompok belajar yang sedang mempraktikkan pertanian cerdas iklim (climate-smart agriculture) melalui proyek Land4Lives, dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim di lahan pertanian. Beliau menyisihkan lahan untuk dijadikan kebun belajar, termasuk membuat bak penampungan air di sekitar lahan kebun belajar.
Bak penampungan air yang dibuat oleh kelompok A (Desa Oepliki) bentuknya seperti jebakan air dengan panjang 2 meter, lebar 1 meter, dengan kedalaman 1 meter.
Air yang tertampung ketika musim hujan biasanya cukup untuk digunakan sampai bulan September, ketika puncak musim kemarau. Biasanya air digunakan untuk menyiram tanaman hortikultura yang ditanam oleh anggota kelompok di kebun belajar, tidak jauh dari bak penampungan air. Keberadaan penampungan air ini juga mempermudah aktivitas, karena biasanya anggota kelompok mengakses langsung air dari sungai yang jaraknya cukup jauh.
“Membuat bak penampungan air ini banyak manfaatnya, terutama dalam menyimpan cadangan air ketika musim kemarau. Sayang, ketika musim hujan air itu terbuang padahal bisa disimpan untuk musim kemarau”, ujar Pak Osias.
Edison Djewali, farmer extensionist dari ICRAF Indonesia menambahkan bahwa wilayah Amanuban (TTS bagian Selatan) umumnya mengalami musim hujan hanya tiga bulan saja. Tetapi, akhir-akhir ini intensitas dan durasinya semakin berkurang. Risiko kekeringan bagi petani semakin besar, sehingga budi daya tanaman hortikultura yang membutuhkan air semakin sulit.
Kekeringan panjang membuat produktivitas petani di lahan menjadi berkurang. Mereka banyak menghabiskan waktu untuk memenuhi kebutuhan air, termasuk membeli air ketika situasi darurat yang mana akan membebani ekonomi rumah tangga.
Upaya adaptasi melalui bak penampung ini, menurut Edison, dapat membantu menjaga ketersediaan air, walaupun kapasitasnya masih terbatas. Upaya-upaya inilah yang dilakukan selain meningkatkan tampungan air yang dilakukan oleh petani di kelompok belajar dampingan ICRAF Indonesia pada musim kemarau tahun 2023.
Selain menampung air, tambah Edison, petani dapat beradaptasi terhadap kekeringan dengan menambah tanaman penaung untuk mengurangi evaporasi dan mempertahankan kelembaban tanah sehingga frekuensi penyiraman menjadi berkurang.
Bagi Osias, bak penampungan air tidak sekadar alat yang membantunya untuk menyiram kebun, tapi juga memberi arti lebih, sebagaimana diungkapkan dalam syair berikut ini:
Ulan nanoena kit nok moe't he tam'op,
le nafrt'non hen\mof neo hit monet
an'bi pah pinan ii..
(Hujan mengajarkanku cara berkorban,
Dengan rela jatuh demi kehidupan
di bumi..)