May 20, 2025

Cerita dari Desa #21: Tantangan budidaya rumput laut di desa Pallime

Ulil Abrar, Wahyu Theo Pani
Mahasiswa Politeknik Pertanian Pangkep, Sulawesi Selatan


Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Tulisan ini mewakili pandangan pribadi penulis.


Sango-sango alias rumput laut merah (Gracilaria sp.) (Foto: James St. John/Flickr)

Sudah lebih dari dua dekade, sango-sango alias rumput laut (Gracilaria sp.) menjadi sumber penghidupan sebagian besar warga desa Pallime, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Namun, di tengah perubahan iklim, petani sango-sango di Pallime menghadapi berbagai persoalan.

Menyusul kegagalan panen udang windu sekitar tahun 2000, sango-sango menjadi komoditas yang diandalkan oleh masyarakat pesisir karena cara budidayanya mudah dan prospek pasarnya baik. Warga juga lebih menyukai budidaya sango-sango karena tekniknya dinilai lebih mudah dibandingkan udang windu. Bibit tinggal disebar, dipupuk, dan panen bisa dilakukan 4–5 kali dalam setahun. Proses pembibitan sango-sango pun sangat mudah: cukup tebarkan bibit-bibit tersebut secara merata ke seluruh area tambak. Pada saat yang bersamaan, tambak juga bisa digunakan untuk budidaya ikan bandeng dan kepiting, sehingga petani dapat memperoleh penghasilan tambahan.

Usaha para petani dilakukan mulai dari penanaman bibit hingga pemanenan hasil, yang dilakukan sendiri oleh para petani. Penanaman bibit dilakukan pada sore hari agar sango-sango tidak stres karena kekeringan. Bibit sango-sango diambil dari gudang bibit untuk menjaga kualitasnya. Baru pada panen selanjutnya, bibit dapat diambil dari sisa panen.

Tantangan sesungguhnya ada pada tahap panen dan pasca-panen. Mendapatkan hasil panen sango-sango yang bagus memang membutuhkan usaha ekstra dan kedisiplinan. Waktu panen sango-sango yang lebih awal sering terjadi karena ketergesa-gesaan petani untuk memanen dan kurangnya komunikasi antara pemilik tambak dan pemanen, sehingga menghasilkan sango-sango yang berkualitas rendah.

Kesulitan ini ditambah dengan kendala lain akibat cuaca yang tidak menentu, diperparah oleh perubahan iklim. Petani sering resah karena sering kali pagi hari cerah, tapi siangnya turun hujan. Pasalnya, pengeringan sango-sango membutuhkan kontrol yang teratur karena jika terkena air hujan akan menimbulkan bercak putih sehingga menurunkan kualitasnya.

Selain faktor di atas, ada beberapa tantangan petani dalam budidaya sango-sango, yaitu harga sango-sango yang murah, kelangkaan pupuk, dan dominasi tengkulak dalam menentukan harga. Petani terutama dihadapkan pada situasi harga sango-sango yang rendah beberapa tahun terakhir. Harga sango-sango kering pernah mencapai Rp7.000–Rp10.000/kg, namun saat ini berkisar Rp3.800–Rp4.000/kg, tergantung pada kualitas.

Tawaran untuk meningkatkan keuntungan petani

Budidaya sango-sango di desa Pallime tak pernah lepas dari tengkulak, yang berperan mengangkut hasil panen para petani. Menurut salah seorang petani, tengkulak memudahkan mereka dalam pemasaran dan pengangkutan hasil panen. Selama ini, petani hanya terfokus pada proses produksi saja dan enggan mengeluarkan biaya lagi untuk mengangkut hasil panen. Alasan lainnya adalah banyak petani dan tengkulak menjalin hubungan keluarga yang masih dekat, sehingga mereka masih percaya dan tergantung karena sudah menjadi kebiasaan. Para petani juga tidak tahu bagaimana permainan harga pasar untuk hasil panen mereka.

Dari cerita tersebut, dapat diketahui bahwa petani kurang mampu dalam hal pemasaran hasil panen dan perlunya perhatian dari pemerintah dalam hal pemasaran.

Cara lainnya adalah petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerja sama langsung dengan Perusahaan Kelautan dan Perikanan atau pengolahan eksportir. Apabila petani mengambil seluruh peran, khususnya dalam pemasaran sango-sango, hasilnya akan jauh lebih menguntungkan karena tidak adanya permainan harga pasar yang dilakukan tengkulak. Petani juga dapat lebih mengembangkan bisnis mereka karena lebih bebas dalam pemasaran, terutama untuk ekspor hasil panen mereka.


Artikel ini mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan pandangan resmi CIFOR-ICRAF Indonesia

Baca artikel lainnya dalam seri Cerita dari Desa