Muh. Anas
Mahasiswa Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan
Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Tulisan ini mewakili pandangan pribadi penulis.
Desa Turu Adae adalah sebuah Desa di Kecamatan Ponre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Mayoritas masyarakatnya bekerja di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan. Beberapa komoditi andalan di Desa Turu Adae yaitu padi, jagung, pisang, kelapa, kakao, dan ada banyak lagi tanaman pertanian lainnya.
Bapak Abidin, ketua kelompok tani Siamasei 1 di dusun Boddonge, Turu Adae menuturkan bahwa sebelumnya, komoditi perkebunan yang mengisi luasan kebun masyarakat setempat adalah tanaman kakao. Namun, seiring berjalannya waktu, hasil produksi dan kualitas tanaman kakao menurun pesat, bahkan sampai tidak ada lagi yang bisa dimanfaatkan untuk diperjual belikan.
Kondisi ini disebabkan, kata Bapak Abidin, oleh tingginya tingkat serangan hama dan penyakit yang menyerang khususnya pada buah tanaman kakao dengan ciri buah menjadi berwarna hitam, umur tanaman yang sudah tua, dan juga dikarenakan kurangnya ilmu teknis budidaya tanaman kakao.
Oleh karena itu, agar kebun masyarakat dapat kembali menghasilkan, maka kebun kakao dibuka dengan cara ditebang kemudian diganti dengan tanaman jagung yang hasilnya dianggap lebih menguntungkan. Pada awal-awal budidaya tanaman jagung, masyarakat diuntungkan dengan hasil produksi yang terbilang mahal di pasaran, yaitu mencapai Rp 8.000 per-kilogram. Selain itu, serangan hama dan penyakit masih berada di bawah ambang ekonomi, hal ini yang membuat masyarakat bersemangat untuk memperluas lahan mereka dan dijadikan kebun jagung.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, produksi jagung di Desa Turu Adae semakin meningkat dikarenakan semakin banyaknya masyarakat yang membudidayakan tanaman jagung, namun harga jual jagung semakin lama semakin menurun mencapai Rp. 2.500 – Rp. 3.000 perkilogram, yang membuat tidak sedikit masyarakat mengeluhkan kondisi tersebut.
Selain penurunan harga jual jagung, masyarakat juga menghadapi kendala lain di lapangan: input penunjang keberhasilan budidaya terbilang mahal. Misalnya, bibit unggul perkilonya dibanderol dengan harga Rp. 135.000 untuk bibit varietas perkasa dan Rp. 95.000 untuk pertiwi, pupuk dengan harga Rp. 145.000 per 50 kg, serta pestisida dengan harga yang bervariasi misalnya gramoxone Rp. 75.000. Kondisi tersebut secara langsung membuat masyarakat mengeluarkan biaya tambahan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan demi keberlanjutan budidaya jagung. Belum lagi, tenaga dan waktu yang dikeluarkan tidak sedikit untuk mendukung proses budidaya satu siklus tanaman jagung. Sementara hasil produksi tanaman jagung fluktuatif, kadang dalam 10 kg bibit dihasilkan 3 ton dan kadang hanya 2 ton lebih.
Adapun salah satu yang melatarbelakangi budidaya tanaman jagung tetap dilakukan di tengah-tengah minimnya keuntungan, disampaikan langsung oleh Pak Takdir, warga Turu Adae yang selama tiga tahun terakhir membudidayakan tanaman jagung. Pria yang juga termasuk anggota kelompok belajar Siamese 1 ini juga menuturkan bahwa hasil dari penjualan jagung jika diperhitungkan tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan di lapangan. Namun, jika diberhentikan, perputaran ekonomi di dalam rumah tangga akan terganggu.
"Ada anak yang membutuhkan biaya untuk menempuh pendidikan,” ujarnya.
Di tengah kegelisahan masyarakat akan kesulitan yang dirasakan dalam membudidayakan tanaman jagung, beberapa bulan terakhir diberitakan harga biji kakao sedang bagus dipasaran. Hal ini diperkuat oleh usulan dari laman kompas.id, yang menyebutkan bahwa harga biji kakao belakangan ini menjadi sorotan karena terus meroket. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Organisasi kakao internasional juga menyampaikan bahwa dunia mengalami kekurangan pasokan kakao sekitar 374.000 ton pada musim 2023-2024.
Berkurangnya produksi komoditas kakao, berdampak kepada melambungnya harga jual biji kakao di pasar dunia, termasuk di Indonesia. Kenaikan harga kakao cukup drastis, dari harga biji kakao sekitar Rp. 25.000 per kilogram, naik sampai sekitar Rp. 170.000 per kilogram pada April 2024.
Kondisi tersebut membuat daya tarik masyarakat Desa Turu Adae tertarik untuk kembali menanam dan membudidayakan tanaman kakao di sela-sela tanaman jagung di kebun mereka. Selain itu, tidak sedikit dari masyarakat untuk merencanakan penanaman kebun mereka dengan sistem polikultur, yaitu menggabungkan tanaman kakao dan jagung di dalam satu hamparan lahan, dimana di sela-sela tanaman kakao ditanami tanaman jagung, saat tanaman kakao masih memasuki masa vegetatif dan belum terlalu banyak percabangan. Pada kondisi tersebut, tanaman jagung masih memiliki ruang untuk tumbuh.
Selain itu, kedatangan ICRAF Indonesia dalam riset-aksi Land4Lives - yang didukung oleh Kanada - menjadi suatu dorongan besar bagi masyarakat Desa Turu Adae untuk kembali memulai melakukan budidaya tanaman kakao.
Pada saat dilakukan pendampingan oleh ICRAF, masyarakat banyak mempelajari tata cara budidaya tanaman kakao baik berupa teori maupun praktik lapangan, seperti pembibitan, penyambungan (perbanyakan vegetatif), pengajiran, pembuatan lubang tanam, cara penanaman, teknik pemupukan, teknik pemeliharaan berupa pemangkasan dan pengendalian hama dan penyakit, teknik panen dan pasca panennya. Dari berbagai rangkaian kegiatan tersebut, masyarakat Desa Turu Adae khususnya kelompok belajar Siamasei 1 dan Siamasei 2 yang beranggotakan masing-masing 25 orang, menjadi lebih mengetahui dan memahami teknis budidaya tanaman kakao.
Selain dari tingginya harga biji kakao, terdapat beberapa alasan masyarakat kembali menanam kakao, yaitu karena dalam budidaya tanaman kakao, hanya dilakukan sekali penanaman selebihnya tinggal dilakukan pemeliharaan dan panen. Berbeda halnya dengan jagung yang setiap habis panen perlu dilakukan penanaman kembali dan membutuhkan modal biaya dan tenaga yang cukup besar. Selain itu, tanaman kakao dapat berbuah dengan cepat, yaitu pada saat umur 2-3 tahun setelah tanam menggunakan bibit hasil sambung. Tanaman kakao merupakan tanaman investasi jangka panjang dikarenakan umur kakao dapat mencapai 30 tahun. Baiknya produksi kakao tergantung dari cara pemeliharaannya.
Dari beberapa minggu terakhir sampai saat ini, kelompok belajar Siamasei 1 dan Siamasei 2 telah mendapatkan distribusi bibit yang telah disambung di setiap masing-masing pembibitan kelompok belajar. Bibit tersebut dapat ditanam di kebun masing-masing. Ada pula beberapa anggota kelompok belajar yang baru memulai melakukan pembibitan tanaman kakao secara mandiri dan ada juga yang telah membeli bibit untuk ditanam di kebunnya.
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Desa Turu Adae, Kecamatan Ponre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang awalnya merupakan mayoritas petani kakao setelah padi, kemudian beralih ke tanaman jagung dikarenakan produksi kakao menurun bahkan tidak ada lagi yang bisa dipanen untuk diperjual belikan, kini mulai kembali menanam tanaman kakao. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya harga jual kakao belakangan ini.
Selain harga jual yang tinggi, alasan masyarakat memulai kembali menanam kakao adalah karena masyarakat Desa Turu Adae telah memiliki pengetahuan terkait teknis budidaya tanaman kakao, yang telah didapat melalui pembelajaran atau pelatihan yang dilakukan oleh ICRAF di lapangan, khususnya pada kelompok belajar Siamasei 1 dan Siamasei 2.
Artikel ini mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan pandangan resmi CIFOR-ICRAF Indonesia
Baca artikel lainnya dalam seri Cerita dari Desa