May 24, 2025

Cerita dari Desa #24: Tumpang sari kelapa-kopi di Beringin Agung

Ade Fauziah, Yuniarti
Mahasiswa Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan


Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Tulisan ini mewakili pandangan pribadi penulis.


Kebun tumpang sari Pak Sokhi

Kelapa merupakan komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Beringin Agung, Kecamatan Muara Sugihan Kabupaten Banyuasin, tak terkecuali untuk pak Sokhi (75), salah seorang petani asal Bandung yang ikut program transmigrasi pada tahun 1980.

Awal mula di Beringin Agung pak Sokhi berprofesi sebagai guru sekolah dasar, di saat itu Muara Sugihan didominasi hutan dengan tanah gambut, sehingga sangat sulit untuk menanam komoditas pertanian, karena tinggi muka air yang tidak memungkinkan untuk tanaman bisa berkembang dengan baik. Tahun 1990, setelah air surut, barulah beliau menanami kelapa di lahan seluas 4 hektar.

Tidak mudah menanam di lahan gambut terutama karena adanya pasang surut, sehingga memerlukan pengelolaan lahan dan air yang tepat supaya tanaman dapat bertumbuh. Beliau mengatakan sebelum ditanami lahan itu tentunya diolah dulu, dibuat saluran air dan pintu air. Pintu air ini dirancang supaya air bisa masuk tetapi tidak bisa keluar dengan demikian kelebihan air pada lahan dapat dibuang ke luar.

Setelah sepuluh tahun menanam kelapa, Pak Sokhi berkeinginan menambah komoditi di lahan 4 hektar yang berisi kelapa tersebut. Ide ini muncul karena melihat ruang kosong di gawangan kebun kelapanya. Terinspirasi dari kampung halamannya, Ciamis, Pak Sokhi menanam kopi di gawangan kelapa.

“Tidak mudah menanam kopi di lahan gambut seperti ini, saya sudah mencoba beberapa varietas kopi. Tumbuh, sih tumbuh tapi ketika terkena banjir langsung mati. Sehingga tidak semua sela atau gawangan bisa ditanami kopi, hanya kira-kira bagian yang cukup tinggi dari jangkauan air bisa diisi kopi,” ujarnya.

Beliau juga mengatakan pada awalnya banyak masyarakat yang mencoba menanam kopi, tapi selalu mengalami kegagalan baik karena faktor lingkungan ataupun ketidakcocokan bibit kopi yang ada.

“Sebelumnya banyak warga sini mencoba menanam kopi, eh kopinya pada mati lalu mereka menyerah dan berfokus pada kelapa dan sawah saja, nah saya ini terus coba ganti varietas yang cocok sampai ketemu varietas lokal yang saya dapatkan dari daerah di Jalur 18 yang cocok ditanam di lahan milik saya sekarang,” tutur Pak Sokhi.

Beliau menceritakan, kopi yang ditanam beliau memiliki bentuk buah bulat kecil, kulit arinya tebal, dan biji yang kecil juga. Dari ciri buah yang disebutkan, dapat disimpulkan varietas yang ditanam Pak Sokhi merupakan kopi Robusta, jenis kopi yang mampu tumbuh di dataran rendah.

Ketika ditanya soal perawatan kopinya Pak Sokhi menjawab tidak ada perawatan khusus hanya standar saja. “Ya seperti datang ke kebun untuk melihat kelapa dan kopi, kalau ada rumput dicabuti, kemudian dahan kopinya juga dipangkas supaya tidak terlalu tinggi, kalau ada semut atau hama disemprot juga pakai handsprayer, bisa dibilang sebagai pengisi waktu luanglah pergi ke kebun itu” celoteh pensiunan guru sekolah dasar tersebut.

“Soal pemupukan juga hampir tidak pernah dipupuk, pemupukan kopi hanya sesekali kalau ada yang menjual pupuk subsidi saja, tapi kan kalau pupuk subsidi itu biasanya dijatah,” lanjutnya.

Pak Sokhi juga menceritakan ketika berkebun dia tidak melakukan pembakaran sisa kebun tersebut baik rumput, dahan, daun, maupun pelepah kering. Pak Sokhi hanya mengumpulkan bahan organik tersebut pada satu tempat di sekitar tanamannya dan dibiarkan melapuk begitu saja.

“Kalau sisa ngerumput, mangkas dahan, daun biasa saya kumpulkan dan saya biarkan saja tidak saya bakar, nanti juga membusuk sendiri dan bisa buat tanah lebih subur serta lebih tinggi” ujar beliau.

Dari sini kami tahu bahwa tanaman kopi bisa subur meskipun tanpa dipupuk secara intensif karena ketersediaan unsur hara terpenuhi dari bahan organik yang melapuk di sekitar tanaman, ini merupakan manfaat dari pengolahan limbah pertanian tanpa bakar yang diterapkan langsung oleh Pak Sokhi.

Hasil panen kopi dari kebun Pak Sokhi tidak langsung dijual melainkan disimpan terlebih dahulu hingga hasil panen yang dihasilkan terkumpul dalam jumlah yang banyak.

“Biasanya saya simpan dulu dalam keadaan kopi yang sudah berbentuk biji, jika sudah terkumpul banyak dan harga jual tinggi langsung saja saya jual jadi untungnya lebih banyak” ujarnya.

Kesuksesan Pak Sokhi menjadi salah satu kisah inspiratif untuk petani-petani lainnya dalam menerapkan konsep agroforestri yang ramah lingkungan dalam memanfaatkan lahan pertanian.


Artikel ini mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan pandangan resmi CIFOR-ICRAF Indonesia

Baca artikel lainnya dalam seri Cerita dari Desa