May 25, 2025

Cerita dari Desa #25: Dampak perubahan iklim pada budidaya padi di Beringin Agung

Ade Fauziah
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan


Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Tulisan ini mewakili pandangan pribadi penulis.


Perubahan iklim yang tidak menentu membuat petani di Beringin Agung harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan. (Foto: Ade Fauziah)

Desa Beringin Agung adalah salah satu wilayah transmigrasi di Kecamatan Muara Sugihan (Jalur 13) yang sebelumnya bernama Campurejo pada tahun 1981 dan berganti menjadi Desa Beringin Agung pada tahun 1990. Mayoritas penduduk Beringin Agung berasal dari Jawa, dan memiliki mata pencaharian sebagai petani padi karena lahan yang tersedia adalah lahan gambut yang kemudian dikelola menjadi lahan pertanian dan tambak. Selain dari padi, masyarakat juga berpenghasilan dari kelapa, ikan bandeng dan udang. Sebelum adanya sawah masyarakat beringin agung banyak merantau ke pulau bangka karena kondisi alam yang tidak memungkinkan membuka lahan persawahan di desa.

Lahan persawahan di Beringin Agung mulai dibuka pada tahun 2000, pada tahun tersebut tanaman padi belum bisa tumbuh secara optimal dikarenakan air asin sering masuk ke lahan persawahan saat terjadi pasang surut air laut. Setelah beberapa tahun barulah persawahan mulai menunjukkan perkembangan yang baik dengan pengelolaan yang baik dan penyuluhan tentang budidaya padi, Desa Beringin Agung mampu menghasilkan beras sampai sekarang.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sunaryo, salah satu petani Desa Beringin Agung, dalam 1 hektar lahan sawah dapat menghasilkan 60-90 kwintal gabah per musim tanam. Budidaya padi di Beringin Agung menggunakan sistem tadah hujan yang mana sangat bergantung pada ketersediaan air hujan. Sawah sistem tadah hujan tidak memiliki irigasi yang pasti, keberadaan kanal irigasi buka tutup pada sistem ini untuk membuang kelebihan air di lahan persawahan dan sebagai pencegah air asin masuk ke area pertanaman yang bisa menyebabkan kematian pada padi.

Ketidakpastian cuaca akibat perubahan iklim mengakibatkan pergeseran waktu tanam. (Foto: Ade Fauziah)

Sawah tadah hujan bergantung pada kondisi cuaca yang sedang berlangsung. Ketidakpastian cuaca akibat perubahan iklim mengakibatkan petani sawah tadah hujan merasakan dampaknya terhadap pergeseran waktu tanam.

Pakde Cukup (50 tahun) mengatakan pengolahan lahan seperti penyemprotan biasanya dimulai sekitar bulan Juni sampai Juli ketika cuaca sedang panas, tapi penyemprotan bisa bergeser lebih cepat atau lambat tergantung kondisi cuaca. Cuaca panas cocok untuk penyemprotan gulma, tapi kalau sedang ada curah hujan tinggi kurang efektif sehingga gulmanya masih tumbuh walaupun sudah disemprot. Hal ini menyebabkan meningkatnya frekuensi penggunaan herbisida. Selain itu, curah hujan pada sistem sawah tadah hujan mempengaruhi musim tanam, biasanya petani mulai menabur benih pada awal Oktober tergantung curah hujan namun pada tahun yang ada kemarau (El Nino) penaburan benih padi dilakukan pada awal November.

Semakin lambat hujan turun semakin lambat pula musim tabur padi. Baik curah hujan tinggi maupun rendah, dapat menyebabkan penurunan produksi padi, curah hujan tinggi menyebabkan kelebihan air pada lahan, sedangkan curah hujan yang sangat rendah menyebabkan kekeringan ekstrim. Petani biasanya akan melakukan penyulaman padi jika terjadi gagal tanam akibat cuaca ekstrim, seperti yang dilakukan Ibu Purwanti yang memulai sulam padi apabila hujan sudah mencukupi sehingga sulaman bisa tumbuh dengan baik.

Selain pergeseran waktu tanam, perubahan iklim juga berdampak terhadap kegiatan pengendalian organisme pengganggu tanaman, baik hama dan penyakit. Hama seperti tikus, wereng coklat, penggerek batang, dan walang sangit merupakan jenis pengganggu yang banyak ditemukan di sawah. Pengendalian hama yang saat ini dilakukan petani masih menggunakan pestisida kimia tergantung jenis hamanya. Namun, dalam pengendaliannya bergantung pada kondisi cuaca.

Pak Mad Soleh, salah satu petani Beringin Agung, mengatakan bahwa penyemprotan pestisida di sawah biasanya tergantung pada kondisi cuaca. Kondisi terbaik untuk aplikasi pestisida adalah ketika cuaca panas. Namun sebaliknya ketika cuaca hujan aplikasi pestisida kurang efektif karena bahan kimia pestisida bisa tercuci. “Kadang penggunaan racun serangga bisa sangat banyak akibat hujan dan harganya cukup mahal, kalau tidak diracun habis padi kita” ujarnya.

Sawah tadah hujan di desa Beringin Agung (Foto: Ade Fauziah)

Kegiatan pertanian di sawah tadah hujan lainnya yang terdampak perubahan iklim adalah pemupukan, di mana hujan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya pencucian unsur hara yang ditambahkan dalam tanah, sedangkan dalam kekeringan ekstrim, pupuk yang ditambahkan bisa menguap dan tidak terserap oleh tanaman.

Perubahan iklim yang tidak menentu membuat petani di Beringin Agung harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Hadirnya lembaga-lembaga yang membantu petani dalam membangun strategi untuk bertahan dalam kondisi kejadian luar biasa iklim yang semakin sering terjadi dan mengganggu rutinitas petani padi sawah tadah hujan, sangat diperlukan untuk memberikan informasi dan inovasi.

Sejak tahun 2023, ICRAF dalam riset-aksi Land4Lives yang didukung oleh Kanada hadir di tengah petani Beringin Agung untuk memberikan informasi dan inovasi terkait iklim dan strategi adaptasinya bagi sistem usaha pertanian. Melalui kelompok belajar yang dibentuknya menjadi wadah berbagi informasi terkait perubahan iklim dan strategi menghadapinya, anggota kelompok belajar ICRAF di Beringin Agung mendapat ilmu praktis mengenai pembuatan kompos, pupuk padat maupun cair secara organik, pestisida nabati, dan metode pembukaan lahan tanpa bakar.

Adanya ilmu mudah dan murah yang bisa diterapkan oleh petani sekaligus ramah lingkungan tentunya akan membantu petani dalam mengatasi pergeseran aktivitas bertani padi di sistem sawah tadah hujan, sehingga produksi padi tetap bisa terjaga untuk memenuhi konsumsi harian petani dan menambah penghasilan rumah tangga petani sawah di Desa Beringin Agung.


Artikel ini mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan pandangan resmi CIFOR-ICRAF Indonesia

Baca artikel lainnya dalam seri Cerita dari Desa