Sharannie, Kamilah Nur Aini
CIFOR-ICRAF Indonesia

Pembagian peran berdasarkan gender di rumah tangga masih lazim di Indonesia. Di beberapa daerah yang menganut nilai tradisional, peran utama seorang ayah adalah mencari nafkah sementara urusan rumah dan anak, termasuk makanan, diserahkan kepada ibu. Padahal, peran ayah dalam urusan tersebut tidak kalah penting.
Tinjauan sistematis oleh Boibalan et al. (2025) [1] menyimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak secara signifikan meningkatkan kesadaran keluarga tentang pentingnya gizi seimbang serta pola makan yang baik sebagai bagian dari upaya penanganan tengkes (stunting). Studi lain dari Tanesab dan Farmawy (2025) [2] menyarankan kebijakan yang inklusif serta strategi inovatif untuk mengatasi hambatan budaya maupun struktural bagi keterlibatan ayah dalam pemenuhan gizi keluarga. Ketika ayah menjalankan peran ini dengan baik, maka tercipta lingkungan yang memberikan dampak positif bagi kesehatan dan gizi anak.
Berangkat dari kebutuhan tersebut, CIFOR-ICRAF Indonesia melalui proyek riset-aksi Land4Lives mengembangkan penelitian dan kegiatan yang mendorong kesetaraan gender dalam ketahanan pangan dan gizi. Setelah melakukan penelitian selama 3 tahun, Land4Lives berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan temuan penelitiannya sembari memperkuat program pemerintah.
Di antara program tersebut adalah Gerakan Ayah Sebagai Konselor (GASELOR) Pangan dan Gizi di Kabupaten TTS, NTT, dan Penguatan Peran Ayah untuk Ketahanan Pangan dan Gizi Keluarga (PAPA Gizi) di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Baca juga:
GASELOR Pangan dan Gizi dan PAPA Gizi memiliki tujuan yang sama, yaitu meningkatkan partisipasi ayah dalam hal pemenuhan pangan dan gizi keluarga dan memberikan penyadaran tentang manfaat menerapkan prinsip kesetaraan gender yang tidak hanya dirasakan oleh perempuan tapi juga oleh laki-laki. Meski begitu, pelaksanaannya akan disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan daerah masing-masing.
Pelaksanaan program GASELOR bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten TTS, sedangkan PAPA Gizi bekerja sama dengan Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P2KB) serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bone. Kolaborasi ini dimaksudkan untuk lebih memahami akar permasalahan dan menemukan metode penanganan yang sesuai dengan konteks dan problematika yang ditemukan di masing-masing wilayahsehingga tepat sasaran dan dapat diterapkan para ayah.
Kedua program ini dimulai dengan pelaksanaan pelatihan dan lokakarya penyusunan bersama (co-design). Dari kedua lokakarya tersebut, ditemukan kesamaan yang mencolok: budaya dan norma sosial masih sangat mempengaruhi pembagian peran dalam rumah tangga.
Pandangan bahwa laki-laki tidak boleh “masuk dapur”, laki-laki yang mengurus anak hanya “membantu istri”, atau bahwa peran ayah sebatas mencari nafkah saja, masih sangat kuat. Pembagian peran yang kaku dan budaya yang mengakar ini tidak hanya menguatkan ketidaksetaraan gender tapi juga membatasi partisipasi ayah dalam pengasuhan, tetapi juga menambah beban ganda bagi ibu.

Temuan-temuan dalam lokakarya ini akan digunakan untuk mengembangkan panduan. Hasil diskusi lokakarya, baik GASELOR Pangan dan Gizi maupun PAPA Gizi, menegaskan pentingnya menyusun materi promosi dengan nada positif, agar keterlibatan ayah di rumah tangga tidak dianggap beban, tetapi suatu kebanggaan.
Dalam program GASELOR Pangan dan Gizi sendiri, para ayah disebut sebagai “Duta GASELOR” dan program PAPA Gizi menggunakan sebutan “Bapak Hebat Peduli Gizi”. Penyematan nama-nama ini merupakan bentuk penghargaan dan pengakuan terhadap peran ayah, serta diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri para ayah untuk berpartisipasi dalam urusan pangan dan gizi keluarga.
Peserta lokakarya berpendapat bahwa promosi ini dapat dilakukan dengan memberikan contoh nyata, seperti pelatihan pengolahan pangan dan berkebun dibandingkan penyampaian materi dengan format ceramah. Selain itu, dapat dilakukan storytelling, role-play, hingga cerita inspirasi keluarga melalui kegiatan yang lebih fleksibel, seperti radio komunitas, acara keagamaan, pertemuan di sekolah, desa, dan posyandu.

Keterlibatan fasilitator, seperti kader kesehatan, pemuka agama, dan guru diharapkan dapat menginspirasi, mengubah kebiasaan sebelumnya, serta sebagai pelaksana dalam keberlanjutan program.
Lokakarya ini menjadi langkah awal untuk mengubah cara pandang terhadap peran ayah dalam rumah tangga. Melalui berbagai pendekatan, para ayah diharapkan dapat lebih aktif terlibat dalam pengambilan keputusan dan praktik sehari-hari terkait pemenuhan kebutuhan gizi keluarga.
Upaya ini bukan hanya mendukung tumbuh kembang anak secara optimal, tetapi juga menciptakan keseimbangan peran dalam rumah tangga yang lebih adil dan berkelanjutan.[]
Editor: Pijar Anugerah
[1] Boibalan FY, Rahmadiyah DC, Permatasari H, Wiarsih W. (2025). Peran ayah dalam penanganan stunting: a systematic review. Holistik Jurnal Kesehatan. 18(11):1440-1449. https://doi.org/10.33024/hjk.v18i11.650
[2] Tanesab DL, Farmawy M. (2025). Keterlibatan ayah dalam meningkatkan gizi anak: tinjauan sistematis. Jurnal Gizi Dietetik. 4(2):96-107. https://doi.org/10.25182/jigd.2025.4.2.96-107