December 8, 2025

Pangan Lokal dalam Isi Piringku

Pentingnya menambahkan konteks lokal pada pedoman gizi seimbang di Indonesia

Ragam pangan lokal (Pijar Anugerah/CIFOR-ICRAF Indonesia)

Sharannie, Kamilah Nur Aini, Mahdiyatur Rahmah
CIFOR-ICRAF Indonesia


Prinsip 4 Sehat 5 Sempurna sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan gizi di Indonesia. Sejak tahun 2014, pemerintah menggantinya dengan “Pedoman Gizi Seimbang” yang mengusung pendekatan lebih holistik -- tidak hanya menekankan pada jenis makanan yang dikonsumsi, tetapi juga pada porsi seimbang, aktivitas fisik, dan pola hidup bersih sehat secara keseluruhan.

Pedoman ini  divisualisasikan melalui Tumpeng Gizi Seimbang, dan kemudian disederhanakan menjadi konsep “Isi Piringku”, yaitu panduan makan sekali saji yang menggambarkan porsi ideal dari tiap kelompok makanan dalam satu piring. Sekilas mirip dengan 4 Sehat 5 Sempurna, namun ada satu perbedaan penting: susu tidak lagi dianggap sebagai penyempurna, tapi hanya salah satu sumber protein hewani.

Kendati praktis, pedoman Isi Piringku yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan Indonesia masih menggunakan contoh makanan yang umum. Padahal, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [1], Indonesia memiliki kekayaan pangan yang sangat beragam: sekitar 100 jenis sumber karbohidrat, lebih dari 100 jenis kacang-kacangan, 450 jenis buah, serta 250 jenis sayuran dan jamur. Keragaman tersebut menjadikan setiap daerah di Indonesia memiliki pangan lokal yang unik dan berbeda-beda.

Karena itu, penyesuaian pedoman gizi seimbang dengan konteks lokal amatlah penting agar masyarakat lebih mudah memahami dan menerapkan gizi seimbang dari bahan yang benar-benar tersedia di sekitar mereka. Dengan begitu, masyarakat diharapkan lebih mampu memenuhi kebutuhan gizinya sesuai pedoman gizi seimbang, mencegah masalah malagizi, sekaligus mendorong pelestarian budaya makan setempat, meningkatkan konsumsi pangan lokal, serta mengurangi beban ekonomi rumah tangga.

Hal ini menjadi dasar lahirnya Isi Piringku Lokal dalam proyek Land4Lives, yang disokong oleh pemerintah Kanada, melalui CIFOR-ICRAF. Berkolaborasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bone dan Timor Tengah Selatan (TTS), CIFOR-ICRAF berupaya menyesuaikan pedoman gizi nasional ke dalam konteks pangan lokal masing-masing wilayah, dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan pangan, nilai gizi, serta kebiasaan makan masyarakat.

Pangan lokal vs delokalisasi pangan

Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan dan TTS di Nusa Tenggara Timur memiliki karakter pangan dan budaya makan yang berbeda, namun menghadapi tantangan yang sama; keragaman pangan yang tersedia belum tercermin dalam pola konsumsi masyarakat. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, keragaman pangan minimal (Minimum Dietary Diversity - MDD) anak 6–23 bulan di kedua provinsi tersebut berada di bawah angka nasional (Sulsel 48,6%; NTT 44,8%; nasional 60,9%) [2]. Survei Land4Lives juga mengonfirmasi hal ini: hanya sekitar 34–37% rumah tangga di Bone dan 25–35% rumah tangga di TTS yang mengonsumsi minimal lima kelompok pangan per hari—menunjukkan rendahnya Household Dietary Diversity Score (HDDS).

Temuan Land4Lives [3] menunjukkan makanan lokal menjadi inti dari pola makan masyarakat di Bone dan TTS, karena wilayah itu menyediakan sebagian besar sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan ikan yang dikonsumsi setiap hari. Ketergantungan yang kuat ini menunjukkan bahwa makanan lokal terus menopang sistem pangan lokal. Namun, hasil temuan juga menunjukkan bahwa di kedua daerah tersebut ada banyak ragam pangan lokal yang semakin jarang dikonsumsi.

Di Kabupaten Bone, misalnya, terdapat daun buncis, luffa siku, buncis berpola, kuncup pisang,  hingga berbagai jenis sayuran lokal yang mulai ditinggalkan. Sementara di TTS,  banyak varietas jagung lokal, kacang-kacangan hutan, jamur, dan umbi-umbian yang dulunya lazim dikonsumsi, kini jarang muncul di meja makan.

Pada saat yang bersamaan juga terjadi delokalisasi pangan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan konsumsi gandum, ayam, minuman manis, makanan yang diolah, ultra proses, dan pangan cepat saji (Nurhasan dkk. 2024) [4]. Di Kabupaten Bone, minyak, lemak, susu, dan sebagian besar produk olahan hampir seluruhnya non-lokal. Sedangkan di TTS, beras – sebagian besarnya diimpor – telah menggantikan beberapa bahan pokok tradisional seperti jagung dan umbi-umbian, sementara makanan olahan, minyak sawit, dan gula juga bergantung pada rantai pasokan eksternal.

Kedua kondisi ini menggambarkan kenyataan bahwa ketersediaan pangan yang melimpah tidak selalu berarti konsumsi yang beragam, bergizi, dan berimbang. Penelusuran di lapangan menemukan bahwa keterbatasan pengetahuan praktis untuk menyusun menu bergizi dari bahan pangan lokal, serta belum optimalnya integrasi edukasi gizi dalam layanan primer, berarti upaya perbaikan gizi memerlukan pendekatan yang lebih kontekstual dan berbasis potensi lokal.

Tanpa materi edukasi yang kontekstual dan mudah dipahami, potensi pangan lokal sulit diterjemahkan menjadi praktik makan bergizi di tingkat rumah tangga.

Isi Piringku Lokal

Oleh karena itu, tim Land4Lives mengembangkan Panduan Isi Piringku Lokal, yang merupakan materi edukasi yang mengelompokkan bahan pangan lokal berdasarkan kandungan gizinya dan menyediakan contoh menu seimbang berbahan lokal, lengkap dengan porsi dan panduan menyusun menu seimbang menggunakan bahan yang tersedia di sekitar rumah tangga. Panduan ini dirancang untuk membantu tenaga kesehatan, kader, serta OPD terkait memberikan edukasi gizi yang lebih dekat dengan realitas masyarakat.

Panduan Isi Piringku Lokal untuk Kabupaten TTS (Kiri) dan Bone (Kanan). (CIFOR-ICRAF Indonesia)

Untuk memastikan panduan ini benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan konteks lapangan, proses pengembangan dilakukan secara partisipatif bersama tenaga kesehatan, staf Dinas Kesehatan, serta perwakilan dinas terkait yang tergabung dalam Pokja Bentang Lahan. Melalui proses ini, peserta bersama-sama meninjau isi panduan, memperkaya materi, dan menyesuaikan pesan edukasi agar lebih kontekstual dan mudah diterapkan dalam layanan primer seperti Puskesmas dan Posyandu.

Selanjutnya, panduan yang telah disempurnakan diuji keterpahaman dan efektivitasnya untuk memastikan tenaga kesehatan dan masyarakat dapat dengan mudah memahami dan mempraktikkan pesan gizi seimbang berbasis pangan lokal dalam kehidupan sehari-hari.

Panduan ini dapat menjadi salah satu sumber literasi pangan dan gizi, yang sangat penting dalam bidang kesehatan, dengan memberdayakan individu untuk mengambil keputusan yang tepat tentang makanan dan dampaknya sehingga dapat meningkatkan kesehatan secara keseluruhan (Silva dkk, 2023) [5].

Melalui proses kolaboratif ini, inisiatif Isi Piringku Lokal diharapkan menjadi jembatan antara pengetahuan teknis gizi dan praktik di masyarakat—memastikan pesan makan bergizi tidak hanya sampai, tetapi juga diterapkan.

Dengan memanfaatkan kekayaan pangan lokal, diharapkan masyarakat Indonesia terutama masyarakat Bone dan TTS dapat lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan gizi, memperkuat ketahanan pangan keluarga, dan mendukung upaya pemerintah menuju masyarakat yang lebih sehat, tangguh, dan berkelanjutan.[]


Dapatkan panduan Isi Piringku Lokal dan publikasi pangan dan gizi Land4Lives lainnya di sini.

Referensi

[1] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2006. Status lingkungan hidup Indonesia. In Walujo EB. Keanekaragaman Hayati untuk pangan. Presentation, Kongres Ilmu Pengetahuan X, 8–10 November 2011. Jakarta. Indonesia: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. KEANEKARAGAMAN-HAYATI-UNTUK-PANGAN-Pusat-Penelitian-Biologi-LIPI.pdf

[2] Kemenkes RI. 2025. Survei Status Gizi Indonesia 2024. Jakarta: Kemenkes RI.

[3]Lusiana B, Fortuna BD. 2024. Status Gizi dan Indeks Keragaman Pangan Ibu: Hasil Survei Pangan dan Gizi di 6 Desa Binaan Land4Lives di DAS Benain, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Bogor, Indonesia: World Agroforestry (ICRAF). https://lahanuntukkehidupan.id/sumberdaya/publikasi/?pid=5242

[4] Nurhasan M, Ariesta DL, Utami MMH, Fahim M, Apriliyana N, Maulana AM, Ickowitz A. 2024. Dietary transitions in Indonesia: the case of urban, rural, and forested areas. Food Security. 16(1):1313-1331. https://doi.org/10/1007/s12571-024-01488-3

[5] Silva, P., Araújo, R., Lopes, F., & Ray, S. (2023). Nutrition and Food Literacy: Framing the Challenges to Health Communication. Nutrients, 15. https://doi.org/10.3390/nu15224708