Pelatihan Fasilitator Sekolah Perempuan di Timor Tengah Selatan

Soe, 2 – 4 Desember 2025

Pelatihan ini diadakan selama tiga hari (2-4 Desember 2025) di Hotel Timor Megah - Soe dengan 21 peserta (19 perempuan, 2 laki-laki) dari 16 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pelatihan ini diselenggarakan oleh DP3A Kabupaten Timor Tengah Selatan bekerjasama dengan ICRAF Indonesia dan Klasis ATU GMIT. Tujuan pelatihan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman fasilitator tentang materi utama dalam sekolah perempuan, untuk meningkatkan keterampilan fasilitator dalam memfasilitasi kelas sekolah perempuan, dan untuk menyiapkan rencana tindak lanjut pasca pelatihan di lokasi masing-masing.

Pdt. Seprianus Adonis (Ketua klasis ATU GMIT) membuka pemahaman peserta tentang peran gender dalam kehidupan sehari-hari sebuah keluarga (ibu, ayah, anak laki-laki, anak perempuan) melalui film pendek berjudul The Impossible Dream. Dalam diskusi, peserta membahas bahwa masih menjadi tantangan untuk memberikan pemahaman tentang ketidakadilan gender bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan ketika kekerasan terhadap perempuan terjadi, banyak perempuan tetap diam dan tidak melaporkan kejadian tersebut, dengan alasan untuk melindungi reputasi keluarga mereka. Padahal, perempuan memiliki hak atas tubuh mereka sendiri dan harus dilindungi oleh hukum.

Peserta kemudian belajar mengenai perubahan iklim dan pengelolaan bentang lahan. “Penanaman pohon, pembuatan teras pada lahan miring, pembuatan jebakan air, merupakan upaya untuk mencegah kerusakan tanah yang menyebabkan longsor dan banjir”, ujar Yeni F. Nomeni (ICRAF NTT). Pada sesi jni dibahas juga mengenai penyebab dan dampak perubahan iklim khususnya bagi perempuan dan kelompok rentan. Selanjutnya Romadhona dan Neno (ICRAF NTT) menyampaikan tentang ketahanan pangan, pangan B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman), dan pengelolaan kebun dapur. Peserta diajak bermain "Isi Piringku” dalam kelompok, dengan menempatkan gambar-gambar makanan sesuai kategorinya (makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan). Mereka juga membahas tantangan yang mereka hadapi dalam mengelola kebun dapur, yang teridentifikasi antara lain ketersediaan air, hama dan penyakit, pupuk, dan benih.

Peserta juga belajar tentang kesehatan masyarakat dan kesehatan reproduksi. Melalui sesi ini, peserta membahas tentang penyakit menular dan tidak menular, upaya pencegahan dan pengobatannya, pemahaman tentang organ reproduksi perempuan dan laki-laki, penyakit organ reproduksi, dan upaya pencegahan atau pemeliharaan kesehatan reproduksi. Selanjutnya peserta belajar mengenai pengasuhan positif. Peserta memahami bahwa pengalaman masa kecil akan terus membekas hingga dewasa, dan anak-anak lebih cenderung meniru perilaku orang tua mereka. Oleh karena itu, bentuk pengasuhan yang diharapkan adalah demokratis, yang mendorong hubungan setara antara orang tua dan anak, memungkinkan anak-anak untuk memahami dan memperbaiki perilaku buruk mereka.

Pdt. Martheda Fay (GMIT) membahas tentang politik desa dan partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa. Para peserta berdiskusi untuk membahas tokoh-tokoh politik perempuan yang dianggap berpengaruh oleh penduduk TTS, upaya mereka, dan pelajaran yang dipetik dari mereka. Hal ini untuk membuka pikiran para peserta bahwa perempuan dapat berkontribusi positif terhadap politik daerah dan ini dapat dimulai dari diri mereka sendiri dan lingkup terkecil, misalnya dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Kemudian peserta belajar mengenai pendekatan ekonomi solidaritas. Pada diskusi, peserta mengungkapkan bahwa pendekatan ini sulit diterapkan karena pola pikir ekonomi umumnya berfokus pada keuntungan. Namun, hal ini telah terbukti dalam praktik. Misalnya, kelompok usaha perempuan yang mengolah keripik singkong membeli bahan-bahannya dari petani/kelompok lain, hal ini mendorong terjadinya saling dukung, berbagi, dan tidak memperkaya diri sendiri.

Selain memperkuat pengetahuan, pelatihan ini membekali peserta dengan ketrampilan memfasilitasi. Ratnasari (ICRAF Indonesia) menyampaikan tips dalam memfasilitasi kelas, antara lain bersikap terbuka, fokus, efektif dalam mengelola waktu, dan pandai membaca situasi. Selain itu peserta belajar teknik berbicara di depan umum secara sistematis. Peserta melakukan simulasi berkelompok untuk mengasah keterampilan peserta sebagai moderator dan pembicara, yang tentu saja dapat mendukung keterampilan mereka sebagai fasilitator. Kemudian peserta juga melakukan simulasi teknik fasilitasi kelas sesuai dengan panduan. Dalam simulasi ini, sebagian besar peserta cukup menguasai teknik memfasilitasi, hanya saja penguasaan materi mereka masih perlu diperkuat. Kuncinya, semakin sering berlatih, semakin baik teknik fasilitasinya, dan materi akan semakin dikuasai.

Pelatihan ditutup dengan penyusunan rencana tindak lanjut untuk setiap kelompok sekolah perempuan. Secara umum, rencana yang akan diimplementasikan adalah mengaktifkan kembali sesi sekolah perempuan sesuai jadwal yang disepakati dengan peserta, memperkuat tim fasilitator dengan berlatih bersama sebelum memfasilitasi kelas, bermitra dengan tenaga kesehatan dari puskesmas dan pihak terkait sesuai dengan topik sekolah perempuan, serta aktif berkoordinasi dengan pemerintah desa termasuk untuk mengusulkan alokasi dana desa bagi sekolah perempuan.

Dokumentasi Kegiatan


🔍 Selengkapnya