November 25, 2024

Cerita dari Desa #6: Bertani Cerdas Iklim dengan Pupuk Organik di Desa Hoi

Vitalianus Yasto Rega dan Muhamad Fitrah Haqiqi
Politeknik Pertanian Negeri Kupang, NTT


Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.


Pak Alexander Tanono, sosok petani inspiratif di Desa Hoi. (Vitalianus Yasto Rega dan Muhamad Fitrah Haqiqi/ICRAF Indonesia)

Bapak Alexander Tanono (72 tahun) adalah salah satu masyarakat di Desa Hoi, Kecamatan Oenino yang saat ini berpartisipasi dalam kegiatan desa dampingan proyek Land4Lives. Beliau adalah sosok inspiratif petani sayuran di Timor Tengah Selatan yang menerapkan program pertanian cerdas Iklim. Di kebun pribadinya, beliau telah mengaplikasikan pupuk organik pada tanaman sayuran yang ia kelola dan telah merasakan manfaatnya. Beliau menitikberatkan aspek manfaat tersebut dalam dua hal, yaitu produktivitas tanaman yang berkelanjutan dan tingkat kesuburan tanah yang lebih baik.

Alasan Pak Alexander menggunakan pupuk organik sederhana saja, yaitu untuk berhemat.

”Pupuk organik yang saya gunakan adalah pupuk organik padat, yang saya buat dari bahan-bahan di sekitar kebun. Pupuk ini saya buat sendiri setelah mempraktikkan ilmu yang telah diberikan ICRAF selama pelatihan-pelatihan di desa saya”, ujar Bapak Alexander Tanono.

Pupuk organik adalah salah satu komponen penting dalam meningkatkan produktivitas tanaman dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Dalam praktik pertanian cerdas iklim, pembuatan pupuk organik merupakan salah satu teknologi yang paling mudah diterapkan oleh masyarakat. Penggunaan pupuk organik dapat membantu meningkatkan kualitas tanah dan kesehatan tanaman secara alami, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang berpotensi berdampak serius pada lingkungan, dan berperan dalam produktivitas tanaman secara jangka panjang.

Untuk membuat pupuk organiknya, Pak Alexander menggunakan batang Pisang, daun gamal, kotoran sapi, bakteri pengurai (EM4), gula, dan air. Cara membuatnya adalah dengan mencampurkan campur kotoran sapi, daun gamal, batang pisang, dengan perbandingan yang sesuai; kotoran sapi biasanya perbandingannya paling besar dari semua campuran. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam wadah penyimpanan dan diaduk hingga merata. Setelah tercampur dengan baik, bakteri pengurai EM4 kemudian ditambahkan untuk mempercepat fermentasi dan dekomposisi.

Bahan yang tercampur kemudian difermentasi selama satu bulan dengan diaduk rutin satu kali seminggu. Setelah difermentasi, pupuk yang sudah jadi dijemur di bawah sinar matahari untuk pengeringan dan pematangan. Pupuk organik yang telah matang diaplikasikan oleh Pak Alexander di tanaman-tanaman yang ada di kebun dengan cara menyebarkan pupuk tersebut di sekitar akar tanaman dengan jarak tertentu dari batang utama. Aplikasi ini dilakukan selama 3 sampai 4 minggu sekali.

Ketika ditemui rumahnya di Desa Hoi, Pak Alexander tampak sedang menanam berbagai jenis sayuran seperti tomat, kangkung, bawang, lombok dan sawi putih. Beliau menanam sayuran sejak bergabung dalam kelompok tani yang dibentuk oleh ICRAF melalui proyek Land4Lives.

“Saya menanam sayuran ini karena masa panennya cukup panjang dan harga jualnya cukup tinggi di sini," ujar beliau.

Sawi merupakan salah satu sayuran yang ditanam pak Alexander di kebun pribadinya. ((Vitalianus Yasto Rega dan Muhamad Fitrah Haqiqi/ICRAF Indonesia)

Beliau mengatakan bahwa tanaman yang diberi pupuk organik mengalami pertumbuhan tinggi batang, lebar daun, jumlah daun, dan berat buah yang optimal. Semua dampak ini dirasakan karena sebelumnya tanaman lebih jarang dipupuk akibat harga pupuk yang mahal. Dengan adanya pupuk organik, Pak Alexander memiliki pilihan lain untuk digunakan dalam budidaya.

Ia menambahkan bahwa kesuburan tanah tampak meningkat dengan pengunaan pupuk organik yang ditandai dengan tanah yang lebih gembur dan berhumus. Ketergantungannya terhadap pupuk kimia mulai berkurang karena selain murah, pupuk organik ini juga ramah lingkungan dengan meningkatkan aktivitas makhluk hidup di dalam tanah. Hasil buah yang dipanen juga rasanya lebih manis dan lebih tahan dalam jangka waktu tertentu.

Bagi Pak Alexander, hasil panen dengan pupuk organik sudah cukup memuaskan meski dari segi kuantitas hasilnya masih lebih sedikit ketimbang pupuk kimia. Bukan tanpa tantangan, menurut Pak Alexander, penggunaan pupuk organik ini membutuhkan waktu yang lama dalam memproduksinya karena proses dekomposisinya cukup panjang.

“Perlu perencanaan matang dalam pemberian pupuk, karena waktunya lebih lama dari pupuk kimia yang sangat cepat”, kata Pak Alexander.

Manfaat pupuk organik

Dosen Politeknik Pertanian Negeri Kupang Yosefina Lewar menjelaskan, waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan pupuk organik biasanya menjadi hambatan besar bagi para petani untuk menggunakannya. Respons pupuk organik juga lebih lambat dibandingkan pupuk kimia, sementara petani biasanya membutuhkan respons yang cepat. Respons yang dimaksud adalah pupuk organik sifatnya slow release, diaplikasikan hari ini tapi efeknya bisa dirasakan dalam jangka panjang karena pelepasan hara dari pupuk organik lebih lambat dari pupuk kimia pada umumnya. Selain itu, kandungan hara  dalam pupuk organik lebih kecil dibandingkan pupuk kimia.

Manfaat pupuk organik bagi produktivitas tanaman tidak secara langsung meningkatkan jumlah nutrisi dalam tanah, tetapi memperbaiki sifat-sifat fisik tanah, dari yang padat menjadi lebih gembur sehingga perakaran tanaman berkembang dengan baik. Dampaknya, proses pengambilan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman dari dalam tanah berjalan dengan baik sehingga produktivitas tanaman meningkat. Pupuk organik ini juga memperbaiki sifat biologis tanah yakni menambah mikroba tanah sehingga peran mikroba dalam ikut menyuburkan tanah dan tanaman lebih optimal. Lalu, pupuk organik juga memperbaiki sifat kimia tanah, yakni menyumbang unsur hara organik bagi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman  lebih baik dan produktivitas tanaman ikut meningkat.


Baca artikel lainnya dalam seri Cerita dari Desa di sini