August 29, 2024

Cerita dari Desa #2: Mengembalikan kejayaan apel di Timor Tengah Selatan

Yuliana Do Carmo Xavier
Politeknik Pertanian Negeri Kupang


Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.


Samuel Tefnai berusaha menghidupkan kembali buah apel yang dahulu sempat berjaya di Soe. (Foto: Yuliana de Cormo Xavier/ICRAF Indonesia)

Sebelum terkenal sebagai penghasil buah alpukat, di masa lalu Kota Soe juga terkenal sebagai penghasil buah apel. Perlahan buah itu hilang, hampir tak bersisa. Masyarakat Mollo saat ini menganggap apel ini sudah punah. Pak Semuel Tefnai yang berusia 59 tahun ini adalah salah satu petani di antara segelintir kecil masyarakat yang ingin membudidayakan kembali tanaman tersebut. Dia melihat upaya 'menghidupkan kembali' tanaman apel ini dapat menjadi peluang tersendiri.

Pak Semuel adalah salah satu petani binaan di desa Bijaepunu, satu dari 12 desa dampingan proyek Land4Lives di Nusa Tenggara Timur. Keresahannya saat ini melihat permintaan terhadap buah-buahan yang cukup tinggi, termasuk apel, hanya bisa dipenuhi melalui pasokan dari daerah lain, padahal di masa lalu Timor Tengah Selatan merupakan produsen buah-buahan penting seperti jeruk dan apel. Upaya untuk mengembalikan tanaman ini memotivasi Pak Semuel untuk kembali membudidayakan apel dan memperbanyak bibitnya secara vegetatif untuk meningkatkan produksi apel di wilayah Timor Tengah Selatan (TTS).

Neno Oematan, salah satu farmer extensionist ICRAF Indonesia yang berasal dari TTS, menjelaskan bahwa apel pertama kali masuk di wilayah Kapan atau Mollo sudah sejak lama. Apel yang dibudidayakan ini diintroduksi dari daerah lain, kemudian berhasil dikembangkan di ketinggian 1.200 mdpl ke atas, cocok dengan wilayah Fatumnasi. Apel ini warnanya merah, dengan ukuran maksimal 0.5 kg/buah. Kulit buahnya tebal dan rasanya manis, bisa bersaing dengan apel-apel impor yang ada di supermarket.

“Saya kira apel ini sudah ada dari sebelum 1970, karena ketika saya lahir pun apel ini sudah banyak. Apel (merah) ini dibawa oleh pedagang Cina dari luar NTT, kemudian dikembangkan oleh Dinas Pertanian melalui okulasi batas atas. Namanya apel Manalagi. Ketika itu dikembangkan besar-besaran oleh Balai Benih Induk (BBI) Oelbubuk. Pada masa jayanya, apel ini tersebar hampir ke seluruh Kecamatan Mollo Utara, kecuali di Nefokoko, Lilana, Nunbena, dan Taneotop yang wilayahnya agak rendah dan panas sehingga kurang cocok dengan apel,” jelas Neno.

Pada akhir dekade 1980-an, apel ini terserang wabah virus yang cukup mematikan sehingga menghabiskan hampir seluruh tanaman apel yang ada ketika itu. Sejak itu, apel ini mulai berkurang jumlah dan produksinya. Walaupun sudah banyak penelitian yang dilakukan, belum ada hasil yang cukup untuk mengembalikan apel ini untuk dikembangkan kembali. Bagi masyarakat Bijaepunu, apel ini hanya tinggal kenangan.

“Tahun 1990 apel ini sudah tidak ada lagi, hanya tinggal kenangan. Tahun ini saya ingin kembangkan lagi walau sudah tidak ada lagi yang mau mengerjakan”, tegas Pak Semuel ketika memperbanyak batang apel di desa Bijaepunu.

Pak Semuel Tefnai ini hanya segelintir orang saja yang masih menyimpan harapan bahwa tanaman apel ini bisa kembali dikembangkan di wilayah Mollo. Paling hanya ada 1-2 orang saja di desa ini yang berpikir seperti Pak Semuel. Beliau memperbanyak tanaman apel yang tersisa di desanya menggunakan metode vegetatif, yaitu stek dan okulasi. Metode vegetatif ini dilakukan dari tanaman yang cukup baik sehingga sifatnya bisa diturunkan langsung pada hasil perbanyakannya.

Beliau mengambil batang apel liar dari hutan yang berwarna hijau, tidak terlalu muda maupun terlalu tua, dengan panjang cabang 15-20 cm. Lalu, batang ini ditanam di dalam polybag yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah tunas baru muncul, bibit dirawat dengan baik setiap hari. Stek kemudian akan siap diokulasi pada umur 1-2 bulan dengan diameter batang 1 cm dengan perakaran yang sudah cukup baik.

Mata tunas untuk okulasi diambil dari dari tanaman induk apel yang sehat dan mengalami serangan hama dan penyakit yang paling sedikit. Mata tunas ini diambil dengan menyayat mata tempel beserta kayunya sepanjang 2.5 cm. Lapisan kayu dibuang dengan pelan-pelan dan hati-hati supaya matanya tidak rusak. Cara yang sama dilakukan pada batang bawah setinggi 20 cm. Bentuknya disesuaikan sehingga bisa menempel dengan baik. Tempelan tersebut kemudian diikat. Setelah 2-3 minggu, ikatannya dapat dibuka. Tanda penempelan berhasil yaitu dengan timbulnya tanda mata tempel yang berwarna hijau.

Menanam apel bersama warga di desa Bijaepunu. (Foto: Yuliana de Cormo Xavier/ICRAF Indonesia)

Setelah berhasil disambung,  tanaman apel hasil perbanyakan akan siap dipindahkan ke lahan setelah 2-4 minggu. Pak Semuel berhasil membuat bibit dari stek sejumlah 160 anakan dalam polibag selama berkegiatan di kebun belajar. Dari hasil anakannya tersebut, sudah ada 20 anakan yang ditanam di lahan. Walaupun menyambung pucuk merupakan keahlian sehari-hari Pak Semuel, melalui pelatihan pertanian cerdas iklim (climate-smart agriculture) yang diselenggarakan oleh proyek Land4Lives keahlian ini terus diasah dan disebarluaskan kepada masyarakat lain.

Semangat Pak Semuel menginspirasi saya untuk ikut membantu. Selama saya di desa, saya juga ikut membantu masyarakat, terutama anggota kelompok belajar, untuk memperbanyak tanaman apel secara vegetatif agar masyarakat mengetahui teknik perbanyakan ini secara luas.


Baca artikel lainnya dalam seri Cerita dari Desa di sini