November 7, 2024

Menguatkan kelembagaan perhutanan sosial dengan peraturan desa

Pengakuan dari pemerintah desa mengukuhkan posisi desa sebagai subjek utama dalam pengelolaan perhutanan sosial.

CIFOR-ICRAF telah mendampingi tiga desa di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan untuk mengesahkan peraturan desa (Perdes) pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa. Perdes ini menjamin dukungan pemerintah desa Turu Adae, Erecinnong, dan Lamoncong dalam memperkuat pengelolaan perhutanan sosial, yang merupakan salah satu tujuan dari kegiatan riset-aksi Land4Lives.

Pengesahan Perdes dilakukan oleh kepala desa di kantor Bappeda Bone pada Rabu, 23 Oktober 2024. Setelah disahkan, dokumen Perdes diserahkan secara simbolik kepada Kepala Bappeda Bone Ade Fariq Ashar selaku perwakilan Pemkab Bone.

Perwakilan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Turu Adae, Mustang, mengungkapkan rasa syukur dengan pengesahan Perdes ini. Menurut dia, peraturan ini penting untuk memastikan bahwa aktivitas LPHD tidak melanggar aturan yang ada serta sesuai dengan harapan masyarakat.

Kepala LPHD desa Lamoncong Musriadi (duduk di tengah, mengenakan kemeja merah) berencana mengembangkan potensi pengembangan beberapa komoditas dari hutan desanya. (Foto: Pijar Anugerah/ICRAF)

Sentimen serupa diungkapkan Musriadi, kepala LPHD desa Lamoncong. Dia berharap, dengan adanya Perdes, dana desa dapat dianggarkan untuk mendukung kegiatan LPHD termasuk menyediakan peralatan yang dibutuhkan untuk mengelola hasil hutan.

Musriadi menjelaskan bahwa mereka berencana mengembangkan potensi hutan desa, termasuk produksi madu dan kemiri serta pengelolaan hasil kayu. Rencana ini sesuai dengan peraturan desa yang mendukung pengelolaan hasil hutan baik non-kayu maupun kayu.

“Jadi saya berharap kedepannya mudah mudahan bisa ada izin untuk pengelolaan hasil kayunya ini. Itu yang akan kami kembangkan,” kata Musriadi.

Sekretaris Desa Erecinnong, Saenaldi, mengatakan bahwa langkah selanjutnya setelah Perdes disahkan adalah mensosialisasikannya kepada warga desa. Semua warga, dia menekankan, harus memahami peraturan ini, termasuk batas wilayah yang boleh mereka kelola serta pentingnya menjaga kelestarian hutan. “Supaya semua pihak memahami hak dan kewajiban mereka,” ujarnya.

Peraturan Desa (Perdes) merupakan bentuk pengakuan resmi pemerintah desa terhadap kelompok-kelompok Perhutanan Sosial (PS) yang telah mendapatkan izin dari pemerintah dalam bentuk surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pengakuan ini memperkuat kelembagaan kelompok serta mengukuhkan posisi desa sebagai subjek utama dalam pengelolaan perhutanan sosial.

Tidak hanya pengakuan, Perdes juga menjadi landasan bagi pemerintah desa untuk mengalokasikan dana desa dalam rangka mendukung operasional dan kegiatan kelompok perhutanan sosial.

Kepala Bappeda Bone Ade Fariq Ashar berharap desa Turu Adae, Lamoncong, dan Erecinnong dapat menjadi contoh bagi desa-desa di sekitarnya. (Foto: Pijar Anugerah/ICRAF Indonesia)

Perdes merupakan paket lengkap yang tidak hanya mengatur aspek legal pengelolaan hutan tapi juga aspek teknis yang mencakup penjabaran tentang Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), tujuan LPHD, area pengelolaan (konsesi), rencana pengelolaan hutan, cara memonitor dan mengevaluasi rencana tersebut, hingga cara membagi hasil dari hutan desa.

Kepala Bappeda Bone Ade Fariq Ashar, selaku perwakilan Pemkab Bone, berharap desa Turu Adae, Lammoncong, dan Erecinong dapat menjadi role model bagi desa-desa di sekitarnya. Dengan diperkuatnya kelembagaan perhutanan sosial melalui peraturan desa, dia berharap dapat muncul efek multiplikasi, di mana desa-desa lain juga akan terinspirasi untuk melakukan hal serupa berdasarkan dengan karakteristik potensi dan wilayahnya masing-masing.

Ade mengatakan, dukungan dari pemerintah kabupaten dapat berupa bimbingan teknis untuk desa yang hendak membentuk lembaga pengelolaan hutan desa serta membantu peningkatan kapasitas lembaga-lembaga yang sudah matang. "Sehingga itulah yang bisa mentransfer ilmunya ke desa-desa yang ada di sekitar," ujarnya.

Kepala DLHK Sulsel Andi Hasbi
Kepala DLHK Sulsel Andi Hasbi mengatakan Perdes akan memperkuat pengelolaan perhutanan sosial melalui skema LPHD. (Foto: Pijar Anugerah/ICRAF Indonesia)

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulawesi Selatan Andi Hasbi dalam sambutannya menekankan bahwa ada dua misi utama perhutanan sosial: mempertahankan keberadaan hutan itu sendiri dan meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Peraturan desa ini akan memperkuat pelaksanaan dan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan perhutanan sosial melalui skema LPHD.

"Melalui LPHD, diharapkan masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama agar hutan tetap terjaga, sekaligus dalam pemanfaatannya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat," ujar Hasbi.

Dari hutan desa ke IAD

Penguatan kelembagaan perhutanan sosial merupakan salah satu fokus kegiatan riset-aksi Land4Lives yang dilaksanakan oleh CIFOR-ICRAF dengan sokongan dari pemerintah Kanada. Land4Lives bertujuan menguatkan penghidupan dan ketahanan pangan masyarakat rentan, terutama perempuan, dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Meningkatkan akses masyarakat terhadap lahan, salah satunya melalui skema perhutanan sosial, diyakini dapat menguatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Cenrana A. Tonra Solie menjelaskan saat ini Kabupaten Bone memiliki 55 kawasan perhutanan sosial, dengan 33 di KPH Cenrana dan sisanya di KPH Ulubila. Perhutanan sosial diharapkan dapat memperbaiki kondisi hutan, sehingga turut mengatasi isu kekurangan air yang dialami Kabupaten Bone.

Menurut Tonra, terbitnya Perdes ini juga menjadi langkah awal untuk membahas Integrated Area Development (IAD) lebih lanjut. Kegiatan pengesahan dan diseminasi Perdes LPHD disusul dengan sosialisasi Sistem Informasi Akses Lahan untuk Masyarakat (SiAlam) dan Integrated Area Development (IAD) sebagai kelanjutan dari penguatan perhutanan sosial di tingkat desa.

IAD adalah kerangka kerja untuk mengintegrasikan kegiatan-kegiatan dalam perhutanan sosial dengan aspek-aspek lain dari pengembangan wilayah. IAD memperkuat implementasi perhutanan sosial dengan menciptakan koneksi antar stakeholder dan memastikan pengelolaan hutan dilakukan dengan cara yang mendukung kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan.

Peneliti CIFOR-ICRAF Ani Adiwinata Nawir menjelaskan tentang Integrated Area Development (IAD). (Foto: Pijar Anugerah/ICRAF Indonesia)

Peneliti CIFOR-ICRAF Ani Adiwinata Nawir menjelaskan, IAD dapat memfasilitasi interkoneksi antara berbagai kelompok perhutanan sosial di wilayah Bone dengan membentuk klaster-klaster yang fokus pada pengembangan komoditas tertentu misalnya madu atau kemiri, atau pada pelestarian biodiversitas – setiap klaster punya karakteristik yang unik dan spesifik.

Dengan adanya IAD, pengelolaan perhutanan sosial tidak hanya terintegrasi dalam perencanaan pembangunan desa melalui dana desa, tetapi juga melalui perencanaan pembangunan daerah. Hal ini memungkinkan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, tidak hanya dari Dinas Kehutanan atau KPH, tetapi juga dari dinas-dinas lain seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Perindustrian, dan Dinas Koperasi.

“Masing-masing punya peran yang strategis dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan perhutanan sosial,” kata Ani.


Baca juga: