August 29, 2024

Cerita dari Desa #3: Tetap aman di tengah krisis pangan dengan kebun pekarangan

Devi Mustika Wulandari
Mahasiswa Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan


Seri Cerita dari Desa menampilkan potret kehidupan petani yang ditulis oleh mahasiswa peserta program Muda-Mudi Peduli Pertanian Cerdas Iklim Land4Lives, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi petani beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.


Pak Zul berpose di kebun pekarangannya. (Foto: Devi Mustika Wulandari/ICRAF Indonesia)

Beberapa tahun terakhir, perubahan iklim mengakibatkan suhu rata-rata bumi meningkat dari biasanya. Hal ini mengakibatkan produksi tanaman menurun akibat adanya kekeringan di berbagai daerah, tak terkecuali di Desa Pelaju, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Kekeringan ini mengakibatkan terbatasnya pasokan bahan pangan baik dari petani setempat maupun dari desa seberang. 

Banyak petani yang mengalami kegagalan panen akibat dari kekeringan yang berkepanjangan. Tanaman yang dibudidayakan bak anak sendiri banyak mati sehingga petani mengalami kerugian yang cukup berarti. Hal ini mengakibatkan masyarakat Desa Pelaju dihadapkan dengan ambang krisis pangan. Untuk menyiasatinya, masyarakat harus cerdas dalam membudidayakan berbagai jenis komoditi pangan agar kebutuhan pokok dapat terpenuhi. 

Memanfaatkan pekarangan dengan sistem agroforestri

Permasalahan keterbatasan lahan di tengah situasi krisis pangan akibat perubahan iklim yang berkepanjangan menyebabkan beberapa masyarakat mulai mencoba memanfaatkan pekarangan rumah sebagai upaya untuk menyediakan kebutuhan pangan harian. 

Salah satu warga Desa Pelaju yang berhasil memanfaatkan pekarangan rumah sebagai sumber pangan keluarga dengan menanam berbagai macam komoditi adalah Zulkarnain. 

Pak Zul, demikian ia biasa dipanggil, bermata pencaharian sebagai petani. Pria berumur 55 tahun ini memiliki rumah yang sedikit jauh dari pemukiman warga atau biasa disebut dengan “daerah darat” oleh masyarakat setempat. 

Letak topografi yang lebih tinggi dibanding daerah lain membuat daerah darat tidak rentan terkena banjir atau genangan akibat pasang surut sungai, sehingga strategis bila dimanfaatkan sebagai tempat untuk melakukan budidaya pertanian. 

Pak Zul punya pekarangan rumah yang sangat luas, terdiri dari 3 titik yaitu pekarangan depan, belakang dan samping yang semuanya dijadikan sebagai lokasi untuk budidaya berbagai jenis komoditi tanaman. Pekarangan depan dan belakang memiliki luas sekitar 20 x 25 meter sedangkan untuk pekarangan samping berukuran sekitar 15 x 5 meter.

Pekarangan samping rumah, dikhususkan untuk menanam berbagai jenis sayuran sedangkan untuk pekarangan depan dan belakang beliau tanami dengan berbagai jenis tanaman sayuran maupun tanaman berkayu. Konsep tanam campur ini sering kita kenal dengan konsep pertanian Agroforestri. 

Pak Zul memulai langkahnya untuk membuka lahan di pekarangan rumah pada tahun 2020. Saat itu beliau hanya fokus membudidayakan jenis sayur-sayuran untuk kebutuhan dapur seperti tomat, terong, laos, kunyit, serai, jahe, lengkuas, cabai, kencur dan masih banyak lagi. Tak terpikir di benaknya untuk membudidayakan tanaman jenis lain. 

Sampai pada tahun 2021, ICRAF Indonesia hadir di desa Pelaju dalam rangka kegiatan Land4Lives. Dari kegiatan ini, Pak Zul mengaku bahwa beliau mendapat banyak sekali manfaat dan pembelajaran salah satunya mengenai teknik pembibitan secara vegetatif. 

Dulunya beliau hanya mengetahui perbanyakan tanaman dengan biji, atau di dunia pertanian biasa kita kenal dengan perbanyakan secara generatif. Padahal, ada banyak keunggulan perbanyakan secara vegetatif, misalnya bibit yang dihasilkan sama dengan indukan dan lebih cepat panen. 

Sejak saat itu, beliau mulai mengadopsi teknik pembibitan secara mandiri. Berbagai jenis tanaman berkayu seperti rambutan, nangka, jengkol dan tanaman berkayu lainnya sudah beliau tanam dengan menerapkan teknik sambung pucuk dan okulasi.

Dengan hadirnya Land4Lives di desa Pelaju, Pak Zul merasa mendapat wadah untuk belajar sebanyak mungkin bersama petugas lapangan ICRAF yang ahli di bidangnya, sehingga selain untuk mencari ilmu beliau juga dapat berbagi pengalaman dan bercerita bersama.

Berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan di pekarangan Pak Zul. (Foto: Devita Mustika Wulandari/ICRAF Indonesia)

Pertengahan tahun 2023 menjadi puncak perubahan iklim yang sangat ekstrem. Kemarau panjang melanda di berbagai daerah. Banyak masyarakat yang terkena dampak negatifnya. Salah satu dampak yang paling banyak masyarakat rasakan adalah menurunnya ketersediaan pangan. Namun Pak Zul tetap aman walaupun di tengah krisis pangan akibat dampak perubahan iklim. 

Itu karena beliau telah mengadopsi teknik pembudidayaan yang telah diajarkan oleh ICRAF yaitu teknik budidaya Agroforestri. Pohon-pohon yang ditanam dapat berperan sebagai regulator aliran sungai dan berfungsi untuk menyimpan air pada saat musim kemarau, sehingga Pak Zul tidak mengalami kekeringan di saat musim kemarau. Kebutuhan air tetap terpenuhi dengan banyaknya pohon yang beliau tanam di sekitar rumah. Sayur-sayuran yang beliau budidayakan juga tetap aman, karena ketersediaan air terjaga untuk melakukan penyiraman. 

Dilihat dari aspek ekonomi, penerapan sistem agroforestri dapat meningkatkan nilai jual masing-masing tanaman yang dibudidayakan. Hal ini karena naiknya produktivitas hasil panen, sehingga secara tidak langsung akan menambah pendapatan petani itu sendiri. 

Ketelatenan Pak Zul dalam membudidayakan berbagai jenis tanaman akhirnya berbuah manis. Beliau tak lagi membeli kebutuhan dapur karena sudah cukup terpenuhi dari kebun dapur yang telah beliau rintis empat tahun yang lalu. Sampai saat ini, tanaman yang beliau budidayakan semakin bertambah berkat hobi bertanamnya. Bahkan beberapa jenis tanaman sudah dibeli oleh tetangga terdekat hampir tiap harinya. 

Awalnya Pak Zul tidak ingin menjual tanaman tersebut, siapa pun yang ingin mengambil dan membutuhkan tanamannya dapat langsung mengambil secara cuma-cuma. “Hidup bukan hanya tentang diri sendiri, kita harus bermasyarakat dan saling menolong terhadap siapa pun”, ujarnya.

Namun, karena masyarakat sekitar membutuhkan dalam jumlah yang banyak maka mereka ingin membeli sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan terhadap ketelatenan Pak Zul dalam bertanam. 

Dengan berbekal ilmu pembuatan pupuk organik yang telah diajarkan oleh ICRAF, beliau mulai mencoba mengaplikasikan pada tanaman sendiri. Untuk pembuatan pupuk kompos, beliau memanfaatkan kotoran sapi milik sendiri, karena selain sebagai petani beliau juga seorang peternak sapi. 

Umur tak jadi penghalang bagi Pak Zul untuk terus belajar di mana pun dengan siapa pun dan kapan pun. Rasa ingin tahu yang tinggi membuatnya selalu haus akan ilmu. Dari beliau saya belajar bahwa sebagai generasi muda penerus bangsa, kita harus mempunyai semangat seperti Pak Zul dalam mencari ilmu. Jangan mau menjadi generasi pemalas yang hanya tahu teori tanpa praktik. Manfaatkan waktu sebaik mungkin dan jangan pernah berhenti untuk belajar.

 “Hidup yang berarti tidak dihabiskan oleh orang yang hanya berdiam diri, angkat kepalamu dan mulailah menyusuri ilmu tanpa henti," demikian kata Pak Zul.


Baca artikel lainnya dalam seri Cerita dari Desa di sini.